Wednesday, December 25, 2013

the awkward truth #9

Jesse: I don't get it. Why would anyone paint a picture of a door, over and over again, like, dozens of times?
Jane: But it wasn't the same.
Jesse: Yeah, it was.
Jane: It was the same subject, but it was different every time. The light was different, her mood was different. She saw something new every time she painted it.
Jesse: And that's not psycho to you?
Jane: Well, then why should we do anything more than once? Should I just smoke this one cigarette? Maybe we should only have sex once, if it's the same thing.
Jesse: Umm... no.
Jane: Should we just watch one sunset? Or live just one day? Because it's new every time. Each time is a different experience.
-Breaking Bad

Sunday, December 8, 2013

badai

Di pos keamanan ini, himbauan untuk mengenakan pelampung tertulis besar-besar. Untuk perusahaan yang bermain di medan penuh resiko, himbauan-himbauan untuk selalu memperhatikan keselamatan diri semacam itu ditempatkan di setiap detil aktivitas. Sesuatu yang mungkin terkesan berlebihan untuk masyarakat umum. Kami mengenakan pelampung, lalu keluar menuju dermaga kecil tempat beberapa speed boat milik karyawan ditambatkan. Sepuluh menit kemudian, perahu yang akan membawa kami menuju desa di sebelah hulu sungai datang.

Perahu menyusuri Sungai Barito yang lebar itu dengan cekatan. Kami melewati dua kapal tongkang yang sedang merapat, berton-ton batu bara sedang dimuntahkan ke dalamnya dari conveyor yang panjang dan tergesa-gesa. Bongkahan-bongkahan batu bara itu tampak seperti barisan manusia yang berdesakan di atas eskalator yang ujungnya adalah wahana terjun bebas.

Setelah melewati sederetan hutan bakau dan nelayan yang sedang menjala, desa itu sayup-sayup mulai nampak dari kejauhan. Atap-atap bangunan sarang walet menjulang dengan ganjil, seperti gedung setengah jadi yang bersanding dengan rumah-rumah panggung. Perahu kami merapat di “dermaga” desa. Setelah lompat dari perahu, kami harus menjaga keseimbangan melewati sebongkah kayu licin yang diniatkan sebagai jembatan kecil.

Jalanan yang becek, minimnya sarana pembuangan sampah yang mengakibatkan sampah berceceran di mana-mana, serta mobilitas warganya yang terbatas karena lokasi desanya dibatasi oleh air mengingatkan saya pada Kampung Laut di Nusakambangan sana. Bedanya, jika rumah-rumah di Kampung Laut seluruhnya terbuat dari beton, di desa ini hampir seluruh bangunan terbuat dari kayu, kecuali bangunan-bangunan sarang walet itu.

Kami berjalan melewati masyarakat yang kebanyakan sedang leyeh-leyeh di teras rumah mereka. Teman saya menyapa setiap orang yang kami temui dengan bahasa Banjar. Mereka membalas dengan senyuman. Beberapa menawarkan kami untuk mampir ke rumah mereka. Rupanya teman saya cukup akrab dengan masyarakat desa ini.

Kami berhenti di depan sebuah rumah. “Ini tujuan kita, rumah kepala desa,” kata teman saya. Kami disambut oleh seorang pria muda yang hangat. Usianya mungkin sekitar 30-an. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di kursinya, pria itu pergi ke dapur untuk menyiapkan minum untuk kami. “Dia baru saja jadi kepala desa. Dia teman baikku,” kata teman saya.

Kami disuguhi kopi yang luar biasa manis. Kata teman saya belakangan, kopi yang super manis begitu adalah racikan khas penduduk pesisir sungai.

“Apa kabar?” kata kepala desa.

“Baik, baik,” jawab teman saya sambil tersenyum lebar.

Lalu obrolan yang sebagian besar diucapkan dalam bahasa Banjar mengalir di antara mereka. Meskipun saya hanya paham sedikit-sedikit, tapi saya tahu itu adalah obrolan remeh-temeh. Sampai suatu saat, teman saya berkata dengan mimik serius.

“Aku dapat informasi, katanya masyarakat hendak demo?”

“Iya.”

“Apakah tuntutan masyarakat tidak bisa dibicarakan baik-baik dengan kami?”

“Kami sudah bosan bicara. Kerbau kami mati ditabrak mobil trailer kalian, kami minta ganti rugi. Hanya sesederhana itu.”

“Kami selalu terbuka untuk dialog. Jika memang ada kasus, mari kita melewati proses hukum yang benar.”

“Kawan, kedatanganmu ke sini tidak akan mengubah apapun. Kami akan tetap berdemo.”

“Bagaimana jika perusahaan meminta kalian tidak berdemo? Karena itu akan mengganggu kegiatan produksi kami.”

“Hehehe. Kawan, jika aku memberitahumu kami akan demo, itu adalah pemberitahuan, bukan permintaan izin.”

Teman saya terdiam.

“Kapan rencana demonya dilakukan?”

“Senin besok.”

Lalu angin canggung berhembus. Kami terdiam cukup lama. Akhirnya kami pamit kepada kepala desa. Saya menghabiskan kopi saya yang sudah dingin, rasanya bertambah manis. Kami bersalaman, kemudian berjalan menuju “dermaga”. Sebelum naik perahu, kami melihat langit mulai menghitam di bagian hilir sungai. Angin pelan-pelan terasa semakin kencang.

Sepertinya akan ada badai.

Friday, September 20, 2013

Dial A for Analog #2

Masih bersama si FM10, tapi kali ini dalam versi favorit saya: monokrom. Yeay!

Kamera: Nikon FM10
Film: Lucky BW 100 

Dial A for Analog #1

Saya kasihan melihat kamera analog saya yang sudah lama sekali tidak disentuh. Lensanya mulai berjamur, cat di body-nya semakin banyak yang mengelupas. Bukan apa-apa, harga cuci film di tempat langganan saya sekarang naudzubillah mahalnya: 30 ribu! Belum lagi beli film-nya. Berhubung beberapa waktu yang lalu saya ada sedikit rezeki, ditambah muncul hasrat jeprat-jepret lagi sehabis nonton Pecker, maka bervakansilah saya bersama si FM10. Ini beberapa hasilnya, monggo...

Kamera: Nikon FM10
Film: Kodak ColorPlus 200

Thursday, September 19, 2013

Medianeras: Penyakit itu Bernama Kesepian

Di tengah rimba beton dan besi bernama Buenos Aires, hiduplah dua manusia yang didera penyakit bernama kesepian. Mereka --masing-masing bernama Martin dan Mariana-- sama-sama menarik diri dari masyarakat dan mengerucutkan dunia mereka menjadi sesempit kamar apartemen. Di kamar mereka masing-masinglah, dua manusia ini berusaha melakukan coping terhadap penyakit yang bersumber dari masalah yang sama: patah hati.

Martin adalah seorang web designer, setelah ditinggal kekasihnya ke Amerika, dia menjadi orang asing yang terobsesi dengan internet dan membeli barang-barang tidak berguna yang kemudian membuat kamarnya menjadi lebih sempit dari kamar seorang hikikomori. Sedangkan Mariana adalah seorang arsitek yang lebih banyak berinteraksi dengan manekin di kamarnya ketimbang dengan manusia setelah dia berpisah dengan pacarnya empat tahun yang lalu.

Kita semua tahu bagaimana kisah semacam ini akan berakhir. Dua manusia yang kesepian ini akan bertemu, merasa cocok, hidup bersama, dan kemungkinan besar akan hidup bahagia selamanya. Ending-nya memang seperti itu, dan saya sudah tahu sejak awal, tapi cerita tentang bagaimana mereka berjuang untuk menjaga kewarasan di dunianya masing-masing sebelum akhirnya mereka berdua bertemulah yang menjadi begitu menarik untuk ditonton.

Konon, ketika diturunkan ke Bumi, Adam terdampar di India, sedangkan Hawa tersesat di Arab. Mereka membutuhkan waktu puluhan tahun sebelum akhirnya bertemu. Berbeda dengan nenek moyangnya, Martin dan Mariana tinggal di apartemen yang hanya dipisahkan oleh jalan raya, tapi jaraknya terasa lebih jauh daripada India-Arab dengan usaha untuk mengasingkan diri yang kuat dari keduanya. Plus, jangan lupa, mereka hidup di belantara kota, tempat di mana untuk menemukan diri sendiri saja susahnya bukan main, apalagi menemukan orang lain. Seperti yang dikatakan oleh Mariana suatu ketika: "If I can't find a person when I know who I'm looking for, how can I find a person when I don't know who I'm looking for?"

Film ini juga menyoroti dampak internet dan teknologi yang bertanggungjawab terhadap munculnya alien-alien di dunia. Klise memang, tapi terasa segar karena dibalut dengan bahasa visual yang indah dan dialog-dialog yang jujur. "The Internet brings me closer to the world, but further from life," kata Martin.

Secara keseluruhan, saya sangat suka film ini. Meskipun tema dan aktingnya biasa saja, tapi seperti yang saya bilang di atas: bahasa visualnya indah, dan unik. Pada beberapa bagian kita malah hanya akan disuguhi oleh slide show foto yang diberi narasi. Akhir kata, seperti biasa, selamat menonton!

Monday, August 26, 2013

Apologia #2

Dalam "The Devil and Miss Prym", Paulo Coelho berkisah tentang sebuah desa bernama Viscos. Desa tersebut dihuni oleh berbagai jenis penjahat dan sampah masyarakat, mulai dari pembunuh kelas kakap, perampok, penipu ulung, hingga pelacur. Ahab, seorang penjahat paling hebat sekaligus kepala desa tersebut, suatu hari bertobat dan menjadi pemeluk Katolik yang taat setelah mengalami serangkaian kejadian dan bertemu dengan orang suci bernama St. Savin.

Ahab yang telah bertobat kemudian ingin mengubah seluruh warga desanya menjadi manusia yang lebih baik. Sebagai mantan penjahat, dia menyadari bahwa warganya tidak akan serta-merta berubah hanya dengan diiming-imingi surga dan diancam dengan neraka. Karena pada dasarnya mereka adalah para penjahat, dan penjahat tidak pernah peduli dengan semua itu. Salah satu cara Ahab untuk membuat warganya kembali mengingat Tuhan adalah dengan membuat Hari Raya Perdamaian. Perayaan yang dipelajarinya dari orang Yahudi ini telah dimodifikasi sedemikian rupa olehnya agar pas untuk diterapkan warga desanya yang merasa memiliki masalah "personal" dengan Tuhan.

Dalam sekali dalam setahun, masing-masing warga mengunci diri di rumah masing-masing. Sebelumnya mereka telah membuat dua macam daftar yang akan mereka bacakan. Pertama, mereka akan mengeluarkan satu daftar sambil mengangkat tangan ke langit dan berkata, "Tuhan, inilah daftar dosaku kepada-Mu." Kemudian mereka membacakan daftar dosa mereka. Dari mulai penipuan, perzinahan, ketidakadilan, dan lain-lain, kemudian ditutup dengan ucapan, "Aku telah berdosa dan memohon pengampunan karena telah membuat-Mu sangat murka."

Setelah itu, sambil tetap mengangkat tangan ke langit, mereka akan mengeluarkan daftar kedua dan berkata, "Tuhan, inilah daftar dosa-Mu kepadaku: Engkau telah membunuh hewan ternakku, Engkau telah membuat cuaca menjadi tidak stabil sehingga panenku berantakan, Engkau telah membuatku harus bekerja ekstra untuk menghidupi keluargaku. Aku telah berdosa kepada-Mu, tapi Engkau juga telah berdosa kepadaku. Biar bagaimana pun, aku akan memaafkan kesalahan-Mu kepadaku, dan kuharap Engkau juga melakukan hal yang sama. Amin."

***

Memaafkan Tuhan, mungkin adalah langkah terjauh yang bisa diambil manusia dalam usahanya untuk mencapai aktualisasi diri. Nyatanya, meminta maaf dan memaafkan memiliki dampak yang begitu besar pada kehidupan seseorang. Para ilmuwan psikologi telah menemukan bahwa orang yang memiliki kemampuan yang baik dalam memaafkan kesalahan orang lain akan lebih mudah mengatasi stres, lebih berpikiran positif, serta merasa lebih bahagia ketimbang mereka yang memiliki hambatan dalam memaafkan. Bahkan, memaafkan juga memiliki efek pada kesehatan jantung, hati, dan tekanan darah. Intinya, perihal maaf-memaafkan ini begitu menyehatkan. Tidak hanya secara psikologis, tetapi juga fisiologis.

Karena itulah kali ini saya ingin meminta maaf. Bukan kepada teman-teman saya, bukan kepada orangtua saya, bukan kepada orang lain, bukan juga kepada Tuhan, tetapi kepada sosok yang memegang peranan paling penting dalam kisah kehidupan saya: diri saya sendiri. Meminta maaf dan memaafkan diri sendiri memiliki keuntungan ganda; perasaan lega yang didapat dari kerendahan hati untuk meminta maaf, dan perasaan lega yang bersumber dari kebesaran hati untuk memaafkan. Maka inilah dia:

Saya ingin meminta maaf pada diri saya sendiri karena: sudah lama sekali saya tidak menulis (atau lebih tepatnya: menyelesaikan tulisan), proyek untuk memproduksi film yang saya canangkan beberapa bulan yang lalu hanya berakhir sebagai wacana, saya telah berkali-kali menyia-nyiakan kesempatan untuk mengembangkan diri, saya telah berlaku dzolim pada buku-buku saya karena telah begitu jarang menyentuh mereka.

Saya juga memaafkan diri saya yang telah melakukan dosa-dosa berupa: sangat jarang jalan-jalan dalam beberapa bulan terakhir, tidak jadi menonton The Radio Dept. saat konser di Jakarta tempo hari, sangat malas berolahraga sehingga saya terkena typus dua hari sebelum ujian masuk pascasarjana.

Wahai diriku, aku telah berdosa kepadamu, tapi engkau juga telah berdosa kepadaku. Biar bagaimana pun, aku akan memaafkan kesalahanmu kepadaku, dan kuharap engkau juga melakukan hal yang sama. Amin.

Wednesday, May 29, 2013

Purnamasidhi

Untuk menyambut Hari Raya Waisak pada tahun 1978, Romo Sindhunata menulis feature yang berjudul "Bulan Datang dan Tersenyum". Dalam tulisannya itu Sindhunata bercerita tentang Mbok Miji, seorang perempuan sepuh yang ia temui di antara iring-iringan yang sedang bergerak dari Candi Pawon menuju Candi Mendut. Alih-alih bergabung dalam iring-iringan, Mbok Miji memilih untuk mengambil jarak dan berjalan terpisah darinya. Alasannya sangat lugu: karena beliau merasa tidak pantas berada di tengah rombongan megah yang penuh dengan orang kota tersebut.

Diceritakan oleh Sindhunata, hari itu langit mendung seharian. Gerimis menemani langkah iring-iringan. Ketika iring-iringan telah sampai di Candi Mendut dan berbagai ritual Waisak telah dilakukan, gerimis serta-merta berubah menjadi hujan deras. Banyak di antara rombongan yang meninggalkan pelataran upacara. Ada yang sekedar mencari tempat berteduh, ada yang kembali ke penginapan terdekat, dan bahkan ada yang kembali ke kota masing-masing. Tapi tidak dengan Mbok Miji. Perempuan sepuh itu tidak bergerak sedikit pun dari posisinya semula.

Melihat hal tersebut, sang romo bertanya kepada Mbok Miji kenapa beliau tidak ikut pulang seperti rombongan yang lain. Mbok Miji menatapnya sambil tersenyum. Dengan Bahasa Jawa kromo, Mbok Miji menjelaskan bahwa beliau sedang menunggu purnama. Beliau sangat yakin purnama akan datang sebentar lagi, tak peduli sederas apa hujan yang turun saat itu. Baginya, purnama adalah "puncak acara" dari Hari Waisak, sehingga alam semesta akan bekerja sekuat tenaga untuk menghadirkannya di hari yang suci itu.

Hujan semakin deras, dan orang-orang semakin banyak yang meninggalkan lokasi. Sepertinya sudah tidak ada harapan sama sekali purnama akan muncul. Di saat orang-orang mendesah, Mbok Miji tetap tersenyum sambil menengadah ke langit. Hujan mulai reda. Langit mulai cerah. Ada sesuatu yang bersinar di atas sana. Benda itu hanya terlihat sedikit. Muncul sedikit lagi, sedikit lagi, kemudian semakin terlihat jelas. Purnama benar-benar muncul, bulat sempurna, sinarnya membanjiri Candi Mendut dengan syahdu.

***

35 tahun kemudian, saya dengan baju yang basah kuyup akhirnya berhasil keluar dari kompleks Candi Borobudur yang super luas itu. Tepat di pintu keluar saya berpapasan dengan sekelompok ibu-ibu tua yang saling bergandengan tangan. Mereka tampak kebingungan. Mungkin mencari kendaraan umum, atau mungkin mencari rombongan lain yang terpisah. Melihat mereka saya langsung teringat Mbok Miji. Jenis manusia sederhana yang hanya memiliki satu tujuan sederhana ketika menghadiri acara keagamaan: untuk beribadah. Mereka yang sambil tersenyum berbondong-bondong datang ke Borobudur untuk bertemu Tuhan, meskipun karpet yang seharusnya menjadi tempat mereka bersimpuh diinjak-injak dan dikotori oleh para turis. Mereka yang dengan khusyuk mendengarkan para biksu melantunkan doa, meskipun para turis asyik tertawa-tawa, bersorak, bernyanyi, bahkan mengumpat dengan enaknya. Mereka yang menghormati para biksu dengan sepenuh hati, meskipun, lagi-lagi, para turis dengan angkuhnya mengotori altar sambil menodongkan lensa dan lampu blitz ke wajah para biksu yang sedang berusaha berkonsentrasi.

Pada Hari Waisak tahun ini tidak ada tanda hujan bakal reda, dan dalam hati saya bersyukur untuk itu. Alam semesta sedang menjalankan skenarionya untuk mengembalikan kesucian Waisak di Borobudur dari gangguan bakteri-bakteri yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Semoga tahun depan para turis yang hanya peduli dengan lampion kapok untuk datang kembali. Semoga umat Buddha dapat merasakan kembali kedamaian dan kesyahduan di Hari Waisak yang telah direnggut dengan begitu sadisnya tahun ini. Dan, ini doa yang paling berat, semoga sikap saling menghormati tidak hanya ada di buku PPKn. Amin.

the awkward truth #8

"People always end up the way they started out. No one ever changes. They think they do but they don't. If you're the depressed type now that's the way you'll always be. If you're the mindless happy type now, that's the way you'll be when you grow up. You might lose some weight, your face may clear up, get a body tan, breast enlargement, a sex change, it makes no difference. Whether you're 13 or 50, you will always be the same."
-Mark Wiener, Palindromes

Tuesday, May 21, 2013

Hyperballad

We live on a mountain
Right at the top
There's a beautiful view
From the top of the mountain
Every morning I walk towards the edge
And throw little things off
Like car-parts, bottles and cutlery
or whatever I find lying around
It's become a habit
A way to start the day

I go through all this
Before you wake me up
So I can feel happier
To be safe up here with you
 

It's real early morning
No one is awake
I'm back at my cliff
Still throwing things off
I listen to the sounds they make
On their way down
I follow with my eyes 'til they crash
I imagine what my body would sound like
Slamming against those rocks
and when it lands
Will my eyes
Be closed or open?

I go through all this
Before you wake me up
So I can feel happier
To be safe up here with you

***

Saya bukan penggemar Björk, jadi hanya tahu beberapa lagunya, dan Hyper-Ballad (atau Hyperballad, saya lebih suka menulisnya begitu) bukanlah salah satunya. Makanya ketika pertama kali mendengarkan Mocca membawakan lagu ini di album Colours, saya tidak tahu kalau itu adalah cover version. Meskipun saya curiga karena sangat tidak biasanya Mocca menulis lirik seganjil dan sekelam itu.

Saya pernah membahas lagu ini bersama pacar saya. Waktu itu dia menganggap liriknya bercerita tentang bunuh diri, sementara saya merasa ada pesan yang lebih samar dalam liriknya, lebih dari sekedar bunuh diri. Tapi karena saya tidak bisa menebak lebih jauh, akhirnya saat itu saya sepakat saja.

Dari semua musisi yang meng-cover lagu ini, dari mulai Yeah Yeah Yeahs, Dirty Projectors, The Twilight Singers, sampai Big Heavy Stuff, menurut saya versi Mocca adalah yang paling pas. Semua musisi yang pernah membawakan lagu ini membawakannya dengan ceria (persis seperti versi aslinya), dan hanya dalam versi Mocca-lah saya mendengarkan kegetiran terselip di dalamnya.

Dua hari yang lalu Mocca manggung di Jogja. Malam itu saya beberapa kali berdoa (dalam arti sebenarnya) agar mereka membawakan Hyperballad. Entah berkat doa saya atau bukan, mereka betulan membawakan lagu itu! Sebelum nyanyi, Arina sempat ngomong begini, "Waktu pertama kali dengerin lagu ini saya gak tahu ini lagunya tentang apa, setelah saya nyanyiin akhirnya saya tahu, ooh begitu toh maksudnya..." Saya dan pacar saya saling bertatapan penuh arti, kemudian kami berusaha mendengarkan musik dan liriknya sekhusyuk mungkin.

Di tengah-tengah lagu pacar saya dengan semangatnya bilang kalau dia akhirnya tahu artinya. Menurutnya lagu itu bercerita tentang seseorang yang harus melewati berbagai fase yang melelahkan sekaligus mengerikan untuk bisa bahagia bersama seseorang yang dicintainya. Dan tidak bisa tidak, dia harus melewati semua fase itu dulu. Bukan pilihan, tapi keharusan. Semacam harus melewati badai super ganas dulu sebelum bisa mencapai perairan yang tenang menuju gugusan pulau berpasir putih yang hangat. Menurut saya itu agak klise.

Akhirnya saya melakukan perbuatan khas masyarakat modern ketika penasaran dengan sesuatu: googling! Ada banyak interpretasi tentang lagu ini di internet. Ada yang mengatakan lagu ini bercerita tentang hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan dan alam semesta, ada yang mengartikan "gunung" dalam liriknya sebagai simbol dari ego manusia, bahkan ada yang menghubungkannya dengan keadaan high yang dialami seseorang setelah mengisap ganja. Björk sendiri mengatakan lagu ini adalah tentang hal-hal yang kadang harus dilakukan oleh seseorang untuk menjaga keseimbangan dalam suatu hubungan yang sudah berjalan cukup lama. Hal-hal yang hanya bisa dilakukan sendirian. Hal-hal yang terkadang tidak pantas, mengerikan, dan bahkan destruktif. Segala hal abnormal yang justru harus dilakukan untuk menjaga kenormalan.

Apapun arti sesungguhnya, lagu ini selalu menyisakan perasaan yang aneh buat saya setiap kali mendengarnya. Perasaan yang merupakan campuran antara sedih, lega, perih, kosong, dan senang yang ganjil. Mungkin jenis perasaan yang sama dengan perasaan ketika kita duduk di bawah pohon yang rimbun setelah kita memutuskan untuk tidak jadi melompat ke jurang setelah teringat hari itu adalah hari pemutaran perdana film yang telah kita tunggu sepanjang tahun. Entahlah. 
*Saya ga bawa kamera, jadi minjem foto punya temen saya, Gebi.

Monday, April 22, 2013

My Top 6 Woody Allen Films

Perkenalan pertama saya dengan Woody Allen adalah ketika beberapa tahun yang lalu mas-mas penjaga Universal (rental film) merekomendasikan Cassandra's Dream waktu saya nanya, "judul apa yang paling pas buat mulai ngonsumsi film-filmnya Woody Allen?" Rekomendasi yang salah, karena menurut saya film itu jelek banget, bikin saya kapok buat nonton filmnya yang lain.

Baru beberapa tahun kemudian saya ditakdirkan untuk nonton filmnya yang "benar", Midnight in Paris, di acara nonton bareng di perpustakaan seorang kawan. Setelah malam itu saya bertekad untuk berburu film-filmnya yang lain. Sebuah tekad yang tak pernah saya sesali, karena sekarang saya benar-benar jatuh cinta pada Woody Allen.

Dari sekitar 40-an judul film (atau sekitar 70-an judul jika serial TV dan film TV ikut dihitung) yang ditulis dan/atau disutradarainya, saat ini baru ada 25 judul yang saya centang di akun icheckmovies saya. Maka sebenarnya kurang pas jika saya membuat daftar semacam ini, karena saya belum menonton semuanya. Tapi berhubung saya selo, inilah 6 film Woody Allen terbaik menurut saya (sejauh ini):

6. Oedipus Wrecks, dalam New York Stories (1989)
New York Stories adalah proyek film keroyokan yang dibuat oleh Francis Ford Coppola, Martin Scorsese, dan Woody Allen. Oedipus Wrecks, segmen yang ditulis dan disutradarai oleh Woody Allen adalah film pertama yang benar-benar membuat saya jatuh cinta padanya, sekaligus mengenalkan saya pada karakter neurotic yang selalu diperankan oleh Woody Allen sendiri yang muncul pada sebagian besar filmnya. Ceritanya tentang Sheldon, laki-laki neurotic yang suatu hari pergi ke pertunjukan sulap bersama ibu dan pacarnya. Si ibu diminta masuk ke dalam kotak ajaib oleh si pesulap di atas panggung, kemudian hilang secara misterius. Bahkan si pesulap pun tidak tahu ke mana perginya. Besoknya si ibu muncul sebagai bayangan raksasa di langit. Yang pertama muncul dalam kepala saya ketika melihat adegan itu adalah, "WTF? Cerita apaan nih?" Tapi lama-lama saya mulai menikmatinya, tertawa sepanjang film, dan tersenyum puas di akhir cerita. Besoknya saya nonton ulang, dan yakin kalau Woody Allen tu jenius.

5. Husbands and Wives (1992)
Banyak film yang membuat orang menjadi apatis terhadap hubungan romantis setelah menontonnya, tapi saya yakin tidak ada yang efeknya sebesar film ini. Dunia Husbands and Wives berputar di antara dua pasangan yang berteman sangat dekat, Gabe-Judy dan Jack-Sally. Di suatu hari yang cerah, tanpa tedeng aling-aling, Jack dan Sally tiba-tiba memutuskan untuk berpisah. Sebuah keputusan yang mengguncang dunia milik mereka berempat, karena berbagai masalah yang selama ini dipendam dengan rapi tiba-tiba keluar secara serempak. Ditambah dengan hadirnya tokoh-tokoh yang membuat pertanyaan-pertanyaan semacam "apakah aku bahagia menikah dengannya?" semakin sering berdengung di kepala. Dari tema dan cerita yang sederhana ini Woody Allen seolah ingin berkata bahwa kegelisahan yang dirasakan oleh pasangan ketika menjalani kehidupan pasca-pernikahan adalah hal yang wajar, atau bahkan sebuah keniscayaan. Kenapa saya memasukkan film pesimistis ini ke dalam daftar ini? Sederhana, karena mungkin ini adalah film paling jujur yang pernah saya tonton.

4. Match Point (2005)
Woody Allen pernah ditanya, dari semua film yang pernah dia buat, mana yang paling disukainya. The Purple Rose of Cairo, Bullets Over Broadway, dan Vicky Cristina Barcelona adalah beberapa di antaranya. Tapi konon, dari semuanya yang paling dia suka adalah Match Point. Film ini adalah satu dari sebagian kecil film Woody Allen yang bernuansa gelap, serius, sekaligus satir di waktu yang sama. Keserakahan dan ketidakpuasan (atau meminjam istilah Woody Allen: chronic dissatisfaction) yang membayangi kepala manusia menjadi tema yang kuat di sini. Bercerita tentang seorang petenis profesional yang hijrah ke London, menjadi pelatih pribadi, kemudian jatuh cinta pada tunangan temannya sendiri. Di awal film, ada analogi tentang bola tenis yang tepat menyentuh net ketika dipukul. Apakah bola itu kemudian akan jatuh ke sisi lawan atau malah kembali ke sisi si pemukul sangat bergantung pada keberuntungan. Di akhir film, analogi itu diterjemahkan dengan begitu apik! Film ini punya cerita dan dialog yang kuat. Akting para pemainnya juga bagus, terutama Scarlett Johansson. Tapi tetap saja, menurut saya bagian terbaik dari film ini adalah endingnya, sebuah twist yang merupakan muara dari segala kekacauan dan konflik dari tokoh-tokoh di dalamnya.

3. Sweet and Lowdown (1999)
Saya suka banget aktingnya Sean Penn di sini. Bahkan secara pribadi, saya menganggap aktingnya di I Am Sam yang fantastis itu masih kalah membekas dibanding aktingnya di sini. Sean Penn berperan sebagai Emmet Ray, seorang gitaris legendaris yang hidup pada tahun 1930-an. Emmet Ray menganggap dirinya adalah gitaris terhebat nomor dua di dunia. Nomor satunya adalah seorang gipsi dari Prancis bernama Django Reinhardt (ini tokoh nyata), orang yang mampu membuat Emmet pingsan setiap kali melihatnya bermain gitar. Emmet tidak pernah mau terikat dengan wanita atau hal-hal duniawi lainnya karena menurutnya seniman tidak membutuhkan itu semua. Hal itu yang membuat dirinya menjadi sosok yang arogan, angkuh, dan nyaris tidak memiliki emosi. Tapi perlahan Emmet merasakan perlahan ada yang berubah dalam dirinya setelah dia menjalin hubungan yang intens dengan Hattie, seorang perempuan bisu dengan kecerdasan yang cukup rendah. Yang menarik adalah, dengan skill bermain gitarnya yang tak pernah diragukan oleh siapa pun, Emmet menyadari ada satu yang kurang pada musiknya: kehadiran emosi. Entah mengapa, sosok Emmet Ray mengingatkan saya pada karakter Ian Curtis di film Control.

2. Zelig (1983)
Jika ada film yang membuat saya menyesal kenapa tidak menontonnya saat masih kuliah, itu adalah Zelig!. Dalam sebuah wawancara, Woody Allen pernah melabeli dirinya sebagai "Militant Freudian Atheist", dan film ini menegaskan pernyataan itu. Woody Allen adalah seorang Freudian sejati! Film ini adalah sebuah "dokumenter" tentang tokoh fiktif bernama Leonard Zelig (Woody Allen), seorang laki-laki misterius yang dijuluki sebagai 'manusia bunglon' karena kemampuannya untuk beradaptasi secara instan dengan lingkungannya, termasuk secara fisik. Jika berada di tengah musisi jazz berkulit hitam, dia akan berubah menjadi negro yang jago bermain saksofon. Jika berada di tengah sekumpulan Yahudi bertubuh tambun, dia akan segera berubah menjadi rabbi obesitas. Film ini menjadi menarik ketika hadir tokoh bernama Dr. Eudora Nesbitt, seorang psikiater yang tertarik untuk meneliti kasus si manusia bunglon. Dr. Eudora menggunakan teknik-teknik psikoanalisa dalam psikoterapinya. Melibatkan alam bawah sadar, hipnotis, asosiasi bebas, dll. Sungguh sebuah kuliah psikologi paling menyenangkan yang pernah saya tonton. Jika suatu hari saya jadi dosen psikologi, saya akan bilang begini kepada mahasiswa saya: "Lupakan A Beautiful Mind, lupakan Identity, lupakan Running with Scissors, mulai sekarang kalian saya wajibkan nonton Zelig!"

1. Stardust Memories (1980)
Ini adalah salah satu film favorit saya sepanjang masa! Yang bisa mengalahkan pesonanya di mata saya mungkin hanya Star Wars. Woody Allen selalu bilang bahwa dia sangat mengidolakan Federico Fellini, sutradara jenius asal Itali yang membuat , film yang susah banget saya cerna walau sudah nonton berkali-kali. Stardust Memories bercerita tentang Sandy Bates (yang diperankan oleh... Woody Allen. Siapa lagi?), seorang sutradara yang tidak mau lagi membuat film komedi setelah teman baiknya meninggal. Kematian temannya itu bukan hanya membuatnya sangat down, tapi juga menjadi titik balik dalam hidupnya di mana dia mempertanyakan kembali arti hidupnya dan semua film yang telah dia buat. Berhubung Woody Allen sendiri bilang film ini bisa dibilang semacam tribute kepada , ada banyak referensi dari film itu yang bakal kita temui di sini. Hitam-putih, tokoh utama seorang sutradara, dan visualisasi mimpi serta cuplikan-cuplikan film absurd si sutradara yang kerap dimunculkan adalah beberapa di antaranya. Meskipun Woody Allen dengan rendah hati bilang Stardust Memories tu 4, atau dengan kata lain, tidak sampai setengahnya jika dibandingkan dengan 8½, di mata saya film ini berada di level sempurna.

Friday, April 19, 2013

bus malam

“Anda mau ke mana?” tanya kondektur.
“Ke barat.”
“Tapi bus ini tidak menuju barat.”
“Ya sudah, ke timur saja.”
“Tidak ke timur juga.”
“Utara?”
“Tidak.”
“Selatan?”
Sang kondektur menggeleng.
“Lalu ke mana?” tanyaku.
“Ke atas.”
“Ke atas?”
“Ya, ke atas.”
“Ke arah bukit?”
“Bukan, lebih tinggi lagi."
"Puncak gunung?"
"Jauh lebih tinggi lagi."
"Ke mana sih? Bulan?"
"Ya, tidak jauh lah dari situ."
"Terserah deh. Saya ikut ke mana saja."
"Sudah punya tiket?"
"Belum, tadi saya tidak sempat beli. Bayar di sini saja ya? Berapa harganya?"
"Tidak pakai uang, Tuan."
"Lantas?"
Sang kondektur tersenyum sambil menunjuk dadanya. Pintu tertutup secara otomatis, perlahan bus mulai merangkak. Seketika aku merasa hatiku begitu... damai. Eh bukan, bukan damai, kosong lebih tepatnya.
"Selamat menikmati perjalanan, Tuan..."

Monday, April 8, 2013

Negeri Berdebu III: Epilog?

Sebenarnya masih sangat banyak yang ingin saya ceritakan tentang tanah Arab, tetapi tiba-tiba saya kehilangan mood untuk menuliskannya. Maka untuk menutup rangkaian tulisan tentang Negeri Berdebu yang prematur ini, biarkan foto-foto ini saja yang menggantikan saya bercerita. Salam.


















*Beberapa dari foto di atas juga ada di sini.

Saturday, March 30, 2013

Negeri Berdebu II: Sisi Gelap

"Assalamu'alaikum, brother..."
Saya mencari asal suara itu di antara para peziarah yang sedang melakukan ritual Sya'i.

"Assalamu alaikum, brother..."
Saya menoleh ke belakang. Seorang lelaki berusia 30-an tersenyum kepada saya. Seorang gadis kecil dengan raut sedih berdiri di sampingnya. Ternyata betul, sapaan itu ditujukan kepada saya.

"Walaikum salam."
"Do you speak English?" tanyanya.
"Yes, a little..."

Maka berceritalah dia. Lelaki itu adalah peziarah asal Pakistan. Dia pergi ke Mekkah bersama istri dan anak perempuannya yang kira-kira masih berumur 6 tahun. Dia bercerita bahwa uang mereka hilang dua hari yang lalu. Selama dua hari itu mereka harus meminta belas kasihan kepada peziarah lain untuk berbagi roti karena mereka tidak mampu membeli apa-apa.

Di ujung pembicaraan ia bertanya apakah saya memiliki uang yang bisa diberikan kepada mereka. Saya bilang saya tidak membawa uang, karena saat itu saya memang tidak bawa. Untuk apa membawa uang ketika sedang melakukan ritual berjalan dan berlari-lari kecil di antara dua bukit tempat dulu Hajar mencari air untuk Ismail ini? Saya bilang sebagai gantinya saya akan mendoakannya. Dia mengucapkan terima kasih, dan saya pun kembali berjalan ke bukit Marwah.

Saya tidak tahu cerita lelaki itu benar atau sekedar karangannya saja. Di Indonesia cerita sedih semacam itu kebanyakan hanya alat untuk mendapatkan uang dari mereka yang terlanjur terjebak rasa haru, jadi wajar jika saya menyimpan rasa curiga. Tetapi entah ceritanya benar atau tidak, semoga lelaki dan keluarganya itu hari ini berada dalam keadaan yang baik.

***

Seorang kolega ayah saya bercerita, tempo hari ketika sedang melakukan tawaf, dia merasa seperti dibantu malaikat yang membawanya terbang mendekati Hajar Aswad. Setelah puas menciumi batu yang konon jatuh dari surga itu, kolega ayah saya tersebut ditepuk pundaknya oleh "malaikat" yang tadi membantunya. Dia dimintai uang yang cukup besar. Ternyata yang membantunya bukanlah malaikat, melainkan joki.

Itu kisah nyata, dan memang banyak joki-joki semacam itu yang berkeliaran di sekitar Ka'bah. Mereka seolah berniat membantu para peziarah untuk mendekati dan mencium Hajar Aswad, tetapi setelahnya akan meminta bayaran yang besar. Jika yang terlanjur dibantu menolak membayar, para joki itu lantas akan mengancam dengan memasang raut wajah yang menyeramkan.

Selain perjokian, pencurian juga kerap terjadi di kalangan peziarah. Beberapa tahun yang lalu kakak saya sempat kebingungan di Mekkah karena dompet dan ponselnya dicuri. Kemarin tas yang dibawa ibu saya menyisakan lubang bekas guntingan di bagian bawah. Untung saja tidak ada barang yang hilang. Jika cerita si lelaki Pakistan di atas benar-benar terjadi, maka dia dan keluarganya kemungkinan merupakan korban dari salah satu pencuri yang berkeliaran dengan licin seperti tikus.

Ada lagi kisah tentang pedagang yang tidak jujur, pembawa unta yang suka memeras peziarah di Jabal Rahmah, supir taksi yang kerap mengerjai penumpangnya, dan lain-lain. Kisah-kisah penuh tragedi semacam itu banyak terselip di antara peziarah yang datang ke tanah suci untuk berserah diri. Berserah diri pada Yang Maha Menerima tentu saja, bukan berserah diri pada pencuri, penipu, dan pemeras.

Kemudian saya sadar. Tanah suci, atau apa pun yang memiliki kata suci di belakangnya, letaknya di atas Bumi, tempat segala kemungkinan bisa terjadi. Kesucian ditaburi oleh ketidaksucian-ketidaksucian yang berbaur nyaris lebur di dalamnya. Ketidaksucian bernama sisi gelap manusia.


Wednesday, March 27, 2013

Negeri Berdebu I: Kiblat

Salah satu pertanyaan yang paling sering saya dapat sepulang umroh adalah, "Gimana rasanya liat Ka'bah?" Saya selalu menjawab, "Nanti jawabannya kutulis aja..."

***

Beberapa waktu setelah memasuki Kota Mekkah, bus kami masuk ke dalam terowongan bawah tanah. Guide kami bilang kami sedang berada di bawah kompleks Masjidil Haram. Artinya kamu sudah hampir sampai. Tak lama kemudian bus keluar dari terowongan, berbelok menjauhi Masjidil Haram, dan berhenti tepat di depan hotel kami, sekitar 500 meter dari masjid.

Setelah menaruh barang dan istirahat sekedarnya di kamar, kami kembali turun dan bergegas menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan ritual umroh. Saya melangkah ke luar hotel dengan hati-hati, pakaian ihrom yang saya kenakan membuat gerak sedikit terbatasi. Kacamata hitam segera saya pasang untuk melindungi mata dari matahari yang super terik, juga dari debu. Beberapa orang percaya debu yang beterbangan di tanah suci memiliki mukjizat untuk menyembuhkan, tapi saya tidak suka kelilipan.

Saya berjalan perlahan sambil menggandeng keponakan laki-laki saya. Sebentar lagi kami akan melihat Ka'bah. Saya suka dengan tempat-tempat yang dianggap suci, tempat-tempat yang memancarkan atmosfir yang menenangkan sekaligus menyenangkan. Karena itulah saya sangat excited untuk melihat Ka'bah. Bagi beberapa umat Muslim Ka'bah tidak hanya dipandang sebagai bangunan suci, tapi lebih dari itu, ia seperti memiliki "ruh" sendiri.

Tetapi semakin dekat jarak kami dengan Masjidil Haram, saya semakin kecewa. Bayangan saya akan Ka'bah selama ini adalah ia sebagai sebuah entitas suci yang berada di tempat yang tenang, damai, dan berjarak dari kebisingan kota. Citra tersebut ternyata sungguh berbeda dari kenyataannya. Masjidil Haram (dan Ka'bah yang ada di dalamnya) dikelilingi oleh simbol-simbol pembangunan yang sangat jauh dari kesan suci. Gedung-gedung, hotel, mall, alat-alat konstruksi, buldozer-buldozer yang mengupas gunung, para pekerja pembangunan terowongan. Angkuh, dingin, tergesa-gesa, dan bising. Sebuah antitesis sempurna dari kesucian.

Hingga pada akhirnya ketika kami sampai di teras Masjidil Haram, semangat saya untuk melihat Ka'bah hilang sudah. Saya berjalan dengan agak lesu memasuki King Abdul Aziz Gate, pintu utama Masjidil Haram. Samar-samar bangunan hitam itu terlihat oleh saya, tertutupi oleh orang-orang yang beraktivitas di dalam masjid meskipun hari masih pagi. Semakin jelas, semakin terlihat, hingga akhirnya saya menuruni tangga menuju pelataran Ka'bah dan berdiri tepat di depannya.

Untuk beberapa saat saya hanya berdiri terpaku. Jadi inilah benda yang dijadikan arah sholat umat Muslim dari seluruh dunia. Benda yang konon telah ditawafi oleh malaikat selama ribuan tahun sebelum Adam dibuang ke Bumi. Ukurannya lebih kecil dari yang saya kira, dan jujur saja, tidak semegah yang saya bayangkan. Orang-orang dengan berbagai rupa dan warna berjalan mengelilinya dengan khidmat. Sebagian bersujud di depannya. Sebagian lagi menangis sambil melafalkan doa. Yang lain duduk-duduk di tangga sambil memandangnya lekat. Saya membetulkan letak kacamata, dan tanpa alasan yang jelas, saya merasa mata saya basah.

***

Konon, Ismaël Ferroukhi, sutradara dari Le Grand Voyage, tidak menemukan kesulitan yang berarti ketika melakukan syuting untuk film itu di tengah-tengah peziarah yang tengah melakukan serangkaian ritual haji. Dia tidak harus repot-repot meminta para peziarah di sekelilingnya untuk tidak melihat ke arah kamera, karena mereka memang tidak melihatnya. Atau lebih tepatnya, tidak peduli. "Para peziarah itu seperti berada dalam dimensi lain," katanya dalam sebuah wawancara.

Gambaran itu cocok seperti apa yang lihat dan rasakan di sana. Orang-orang yang sedang bertawaf seperti tercerabut dari alam sadarnya. Pusaran manusia yang bergerak melawan arah jarum jam itu seolah tidak lagi bersifat sebagai kumpulan individu-individu, tetapi telah menjadi satu kesatuan yang solid, di mana masing-masing individu di dalamnya terdorong untuk melepaskan atribut ke-aku-an.

Di internet ada banyak sekali artikel-artikel yang membahas "kehebatan" Ka'bah. Dari yang menganggapnya sebagai pusat Bumi sampai yang membahas perihal Neil Armstrong yang melihat bayangannya dari Bulan. Saya tidak percaya dengan teori-teori semacam itu. Tapi saya percaya Ka'bah menyimpan energi yang sangat besar. Energi yang dibawa oleh jutaan peziarah dari seluruh dunia yang tak henti datang setiap tahunnya.

Berbagai macam energi dan emosi yang dibawa oleh para peziarah diserap oleh Ka'bah dan lingkungan fisik di sekitarnya. Energi yang datang dari rasa haru, gembira, pengharapan, serta penyerahan diri. Kumpulan energi yang "memabukkan" itu kemudian dipantulkan kembali ke arah peziarah yang mengelilinginya. Itulah kenapa para peziarah  seperti berada pada dimensi lain ketika berhadapan dengannya. Dan itulah kenapa saya pada akhirnya mengabaikan kesan yang saya dapat dari simbol-simbol peradaban yang berada di sekelilingnya dan hanya berfokus pada bangunan berbentuk kubus itu.

Bangunan yang menjelma lampu, dengan laron-laron berwujud manusia yang tak henti terbang mengelilinginya.

Monday, March 18, 2013

the awkward truth #7

"To love is to suffer. To avoid suffering one must not love. But then one suffers from not loving. Therefore, to love is to suffer; not to love is to suffer; to suffer is to suffer. To be happy is to love. To be happy, then, is to suffer, but suffering makes one unhappy. Therefore, to be unhappy, one must love or love to suffer or suffer from too much happiness."
-Sonja, Love and Death 

Saturday, February 23, 2013

everything is illuminated

Beberapa hari yang lalu saya dan dua orang teman melakukan perjalanan impulsif ke Pantai Pandansari, satu-satunya pantai di Bantul yang memiliki mercusuar. Setelah berhasil melewati sederetan gejala fobia ketinggian yang muncul lagi setelah sekian lama saya tidak melakukan penelusuran goa vertikal, akhirnya saya berhasil menyusul kedua teman saya itu ke puncak mercusuar.

Puncaknya menyerupai balkon yang melingkar. Pembatas yang menjaga kami dari sesuatu yang tidak diinginkan hanyalah pagar setinggi pundak yang hanya memiliki satu baris besi di tengahnya. Pemandangan dari atas luar biasa. Tebing Parangndog dan Pantai Parangtritis di ujung timur, garis pantai tanpa ujung di timur, lautan luas dengan ombak yang besar di selatan, serta rimbun pepohonan dan siluet Merapi di utara. Kami baru turun setelah langit mulai gelap.

Sesampainya di bawah, kedua teman saya itu menumpang sholat Ashar yang sudah kelewat telat di rumah salah satu penjaga mercusuar yang sedang menyapu halaman. Sambil menunggu mereka, saya ngobrol sedikit dengan bapak penjaga tersebut sambil leyeh-leyeh di bawah pohon cemara yang teduh. Belakangan saya tahu si bapak bernama Pak Cipto.

Boleh minta ceritain sedikit tentang mercusuar ini, Pak?
Boleh, Mas. Jadi begini, meskipun berada di pantai Pandansari, sebetulnya mercusuar ini nama resminya adalah Mercusuar Samas, karena dulu rencananya memang akan dibangun di Pantai Samas. Tapi karena di sana ada lokasi pelacuran dan ditakutkan malah memberikan dampak yang tidak baik pada keberlangsungan mercusuar ini, akhirnya dibangun di sini.

Ini mercusuar ada dari zaman Belanda ya, Pak?
Enggak, Mas. Ini baru dibangun pemerintah tahun 1998.

Wah sok tahu saya. Hehe. Sudah berapa lama kerja di sini, Pak?
Lumayan lama, Mas. Saya dari tahun 2006 di sini. Sebelumnya ditempatkan di Cilacap.

Kalo tugas Bapak di sini ngapain aja, Pak?
Saya kebagian jadi penjaga mercusuar, Mas. Ya gini-gini aja, nyapu halaman, ngebakarin daun, ngunci pintu mercusuar, dan lain-lain. Di sini total ada lima petugas. Ada kepala kantor, ada penjaga mercusuar, juga ada teknisi. Teknisi tu tugasnya merawat dan memperbaiki kalo ada kerusakan di lampu mercusuar.

Betah kerja di sini, Pak?
Betah gak betah sih, Mas. Saya gak betahnya itu kalo inget anak istri di Semarang. Tapi ya mau gimana lagi, saya kerja untuk mereka juga.

Kenapa keluarganya gak dibawa ke sini aja Pak?
Tadinya sih mau begitu, Mas. Tapi anak saya masih sekolah, dan di sini gak ada sekolah Mas. Ada sih, tapi jauh banget.

Ohh gitu... Oh iya, pernah ada cerita seru apa di sini, Pak?
Yang seru gima maksudnya?

Ya yang seru, yang aneh-aneh gitu, Pak.
Ah, nanti Mas-nya takut lagi.

Biarin, Pak. Udah mau pulang ini hehehe.
Hehe. Jadi dulu tu pernah ada anak indigo masuk ke mercusuar, terus dia bilang sama saya, "Om, saya lihat ada kaki perempuan jalan-jalan di dalem, tapi gak ada badannya." Saya tanya, "kok tahu kalo itu kaki perempuan?" Dia jawab, "soalnya pake sepatu perempuan, Om." Tapi kalo saya malah belum pernah lihat selama di sini.

"Dia" takut kali sama Bapak. Hehe.
Ya mungkin ya. Haha. Saya malah pernah lihat yang aneh-aneh di laut, Mas. Jadi saya ceritanya malem-malem lagi bosen, terus jalan-jalan sendirian di pantai. Eh saya lihat ada lingkaran di laut, mirip kelapa gitu tapi bercahaya. Waktu saya senterin benda itu kabur, hilang ke tengah laut. Saya juga gak tahu itu makhluk apa. Tapi kan Gusti Allah tu selain menciptakan manusia juga menciptakan jin dan makhluk halus lainnya to, Mas?

Katanya sih gitu, Pak. Saya juga gak tahu. Eh, itu teman saya sudah selesai sholat, Pak. Kami pamit dulu ya.
Iya, Mas. Terima kasih sudah ke sini. Nanti saya add Facebook Mas. Di sini hiburannya sedikit, Mas, makanya saya sukanya ya itu, internet-an, Facebook-an. Lumayan Mas, nambah temen, nambah sodara.

Lalu kami pun meninggalkan pantai, memperhatikan mercusuar dari kejauhan. Cahayanya yang terang berkedip-kedip dapat terlihat dari laut sampai jarak 20 mil. Memberi petunjuk arah kepada nelayan dan peringatan kepada kapal-kapal besar untuk tidak terlalu dekat dengan daratan. Berkedip-kedip. Terus berkedip-kedip.

Monday, February 18, 2013

keracunan moral

Apakah manusia makhluk amoral? Tidak, kita adalah makhluk bermoral. Kita dibesarkan dengan nilai-nilai moral yang ditanamkan dari segala penjuru mata angin. Kita dididik untuk mencari pesan moral yang diselipkan dalam setiap kisah yang dituturkan. Kita disiapkan untuk menjadi prajurit-prajurit penegak moralitas sejak kecil.

Dengan segala nilai moral yang terus membayangi di atas kepala, lama-lama kita menjadi bingung akan diapakan semua itu. Akan dilampiaskan ke mana segala nilai moral yang merindang di dalam kepala, hati, serta otot kita.

Hasilnya adalah kita menjadi makhluk yang rajin mengutip ayat-ayat yang konon suci untuk menyerang orang lain. Kita gemar mengait-kaitkan segala sesuatu dengan berbagai macam teori konspirasi dan secara tidak langsung memupuk kecurigaan dalam kepala kita. Kita tidak pernah alpa menghujat kelompok lain tapi mati-matian mengubur dosa kelompok kita sendiri di atas pembenaran-pembenaran langitan. Kita tanpa ragu membanjiri bumi dengan darah mereka yang memiliki standar moral yang berbeda dengan kita.

Kita terlalu banyak mengonsumsi moral. Kita mengalami overdosis. Kita keracunan.

Friday, February 1, 2013

tujuh hari menuju semesta

Mobil Elf sewaan yang kami tumpangi berjuang keras melewati sederetan tanjakan dan turunan curam berbatu dengan bekas longsoran di kanan-kiri. Para penumpang di dalamnya terpontang-panting ke sana kemari, berusaha menahan mual dan menjaga kepala agar tidak terantuk jendela.

Saya dan tiga belas volunteer lain dari komunitas Book for Mountain sedang dalam perjalanan menuju dua desa di bagian selatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Bukan perjalanan yang sekejap. Sebelas jam dalam kereta ekonomi Jogja-Jakarta, disambung dua jam kereta Jakarta-Rangkasbitung, berdesakan dalam angkot menuju terminal, dan diakhiri dengan lima jam perjalanan dalam Elf sewaan yang didapat melalui tawar-menawar yang menegangkan dengan belasan calo terminal.

Kami membawa sebuah misi: membangun perpustakaan dan mengajar murid sekolah dasar di sana selama seminggu. Misi yang diniatkan sebagai sebuah bentuk pengabdian dengan cara memberi, tapi pada kenyataannya kamilah yang mendapatkan jauh lebih banyak hal di sana.

***

Kami berempat belas dibagi menjadi dua tim dan ditempatkan di dua desa yang berbeda: Desa Mekarsari di Kecamatan Cibeber dan Desa Girimukti di Kecamatan Cilograng. Kedua kecamatan ini sama-sama berada di posisi yang unik: tersembunyi di balik bukit-bukit dan jurang rawan longsor yang dingin tetapi hanya berjarak satu setengah jam dari laut selatan.

Saya ditempatkan di Girimukti, sebuah desa yang masih dilengkapi dengan peraturan adat yang kuat dalam mengatur keseharian mereka.

Masyarakat di Desa Girimukti dilarang untuk memasang genteng di atas rumah mereka. Sebagai gantinya mereka memakai rumbia atau seng. Mereka juga percaya bahwa burung elang adalah makhluk yang sakral, sehingga tidak boleh menunjuk dengan jari jika kebetulan melihat mereka terbang di langit. Jika ada orang yang tidak sengaja menunjuk ke arah elang yang sedang terbang, orang itu harus menggigit jarinya sendiri hingga berdarah.

Dari semua peraturan yang ada, yang paling khas dari Desa Girimukti adalah peraturan yang mengatur tentang tanaman padi. Masyarakat Desa Girimukti hanya boleh menanam padi satu kali dalam setahun. Ketika sedang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan beras, seperti mencuci beras atau memasak nasi, mereka diwajibkan untuk melakukannya dalam posisi duduk. Mereka juga dilarang untuk menjual beras kepada orang lain. Jika peraturan-peraturan itu dilanggar, dipercaya mereka akan mendapat musibah yang "tidak main-main".

Lalu, seperti apakah anak-anak yang merupakan produk nyata dari kehidupan desa seperti ini? Konservatif? Kaku? Sulit menyerap ilmu baru? Sama sekali tidak! Di Girimukti, saya tak henti dibuat terpana oleh kecerdasan alami anak-anak desa. Seolah alam semesta telah menyisipkan ilmu pengetahuan dalam tiap udara yang mereka hirup, atau dalam tiap tetes air Sungai Cisawarna yang mengaliri desa mereka.

Ada Dewi dan Gin Gin, anak kelas 5 yang bisa memerankan tokoh dalam sebuah naskah drama dengan sangat apik dalam sekali latihan. Ada Heykal yang usianya bahkan belum genap 5 tahun tapi sudah hafal perkalian. Ada Eni yang memiliki bakat alami seorang penulis fiksi. Lalu ada Chandra, bocah paling nakal di sekolah yang hobinya bikin onar dan mengganggu anak perempuan tapi pernah dikirim ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan matematika se-Asia.

Bisa dibayangkan betapa anehnya fenomena itu mengingat sekolah mereka yang berisi lebih dari 150 murid hanya memiliki dua guru tetap dan tiga guru bantu yang kedatangannya lebih tidak bisa diprediksi dibanding cuaca belakangan ini.

***

Di Desa Girimukti nyaris tidak ada sinyal ponsel sama sekali. Untuk mendapatkan sinyal kami harus mendaki bukit yang paling tinggi atau berkendara menyusuri hutan ke kota kecamatan terdekat. Selama seminggu di sana praktis ponsel saya kehilangan fungsinya. Satu hal yang tentu saja menyebalkan untuk bagian dari generasi yang telah sangat menggantungkan hidupnya pada teknologi seperti saya.

Anak-anak di sana juga jauh lebih steril dari perbudakan teknologi dibanding anak-anak kota. Mereka lebih mengenal melompat dari jembatan ke sungai yang mengalir deras sepulang sekolah atau perang-perangan menggunakan sarung yang telah diikat ujungnya sepulang mengaji ketimbang duduk menghadap berbagai jenis layar monitor.

Meskipun keluarga mereka tidak kaya, meskipun setelah lulus sekolah kemungkinan besar mereka akan mengikuti jejak kakak-kakak mereka untuk menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta atau penambang emas ilegal di Bogor, meskipun tingkat perceraian orangtua mereka sangat tinggi sehingga nyaris setengah dari mereka tidak lagi memiliki keluarga yang utuh, kebahagiaan jelas sekali terpancar dari mata mereka. Kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan semu ala masyarakat kota yang dapat setiap saat digantikan oleh emoticon.

***

Saat ini saya sudah kembali ke kota. Saya kembali dikelilingi oleh teknologi dan segala perkakas penyempurna hidup. Ponsel saya sudah kembali terisi sinyal, yang artinya saya kembali bisa berkomunikasi via udara. Sambungan internet telah kembali saya jamah, artinya saya kembali bisa mengakses dunia tanpa batas berisi milyaran informasi. Ironisnya, saya malah merasa kebahagiaan dan kedamaian hati saya tertinggal di desa yang magical itu. Desa yang minim fasilitas tetapi mengajarkan saya untuk menjadi manusia seutuhnya, bukan menjadi alien kesepian yang saling mengasingkan di tengah megahnya peradaban modern.


*Judul postingan saya pinjam dari salah satu judul lagu Melancholic Bitch.