Saturday, December 31, 2011

epilog tahun kelinci

Jogja, 17 Desember 2011, 22.00

Saya berada di balkon lantai tiga sebuah kamar hotel di daerah padat wisatawan Malioboro. Hujan masih belum juga reda, tetapi riuh turis serta tukang becak yang menawarkan jasanya juga tak reda. Hasrat untuk berlibur dari rutinitas harian para turis dan kebutuhan akan beberapa rupiah dari para tukang becak yang siap mengantar mereka kemana saja sepertinya merupakan perpaduan yang lebih kuat dari keinginan untuk menghangatkan diri di dalam bangunan. Seperti yang saya lakukan saat ini, walau pun sebenarnya tidak begitu hangat juga, dengan berbatang-batang rokok menthol yang saya sesap dan segelas teh panas sisa siang tadi yang tentu saja tidak lagi panas, tapi tetap lebih nyaman dibanding berada di bawah sana, setidaknya menurut saya.

Tempat tinggi semacam ini selalu menghantarkan sensasi yang komplikatif untuk saya. Menyenangkan karena bisa melihat banyak hal dan bisa mendengar banyak suara dari bawah, membuat saya seperti pengamat yang bisa memperhatikan semua hal tapi tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Di sisi lain menimbulkan perasaan hampa yang sesak, seolah seluruh dunia sedang berpesta di bawah sana dan kamu tidak diundang. Meski pun ini malam dan juga hujan, langit terlihat cukup terang. Cahaya buatan yang terpancar dari pemukiman padat penduduk di seberang sana cukup menjadi polusi cahaya yang ampuh untuk menyamarkan warna asli malam. Langit di selatan tampak lebih terang lagi. Sekaten di alun-alun adalah penyebabnya.

Saya baru saja kembali dari perjalanan menembus hujan deras mengelilingi Jogja bersama keluarga saya. Ada dua hal menarik yang saya lihat dari balik kaca mobil yang berembun dalam perjalanan tadi. Pertama adalah seorang perempuan yang duduk di kursi roda, sedang berusaha menyeberang jalan dibantu oleh seorang lelaki, entah saudaranya, adiknya, suaminya, atau mungkin orang yang kebetulan lewat. Perempuan itu memakai ponco, sementara si lelaki basah oleh hujan karena tidak memakai apa pun untuk melindungi tubuhnya selain pakaiannya. Si lelaki tampak kesulitan dan ragu-ragu ketika mendorong kursi si perempuan karena mungkin hujan yang deras membuatnya kesulitan melihat. Maka sementara keluarga saya sedang menertawakan dua orang perempuan yang asyik berfoto di area KM 0 padahal hujan sedang deras-derasnya, mata saya tidak bisa lepas dari lelaki dan perempuan berponco di kursi roda itu di sisi lain.

Kemudian ketika berhenti di lampu merah lain, saya melihat seorang kakek tua yang berjalan sangat tertatih, sangat pelan menyibak tirai lebat bernama hujan. Dia membawa tongkat yang berbunyi "cring, cring" setiap kali dia menghentakkannya ke tanah. Kakek itu buta. Berjalan sendirian di pinggir jalan yang padat kendaraan (dia bahkan tidak berjalan di atas trotoar), tanpa ada satu pun orang yang peduli padanya. Hanya sebentar saya memperhatikannya karena lampu kembali hijau.

Meski pun otak saya merekam dua kejadian tersebut dengan durasi yang tidak lama, namun keduanya terus berputar di kepala saya malam ini, seperti sebuah film pendek yang diputar di program multimedia yang alih-alih memiliki tombol "stop", dia memiliki tombol "repeat" yang telah diklik oleh seseorang, atau sesuatu. Sialnya meski pun adegan itu terus berputar dan mengganggu ketenangan saya, saya tahu tidak ada sesuatu pun yang bisa saya perbuat tentangnya. Saya semakin terganggu karena rasa kasihan biasanya hanya akan berujung pada kebencian dan kemarahan jika saya tidak melakukan apa pun untuk menawarnya. Hal inilah yang seringkali membuat saya memutuskan untuk mengabaikan hal-hal yang terjadi di sekitar saya yang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan saya. Inilah yang membuat saya sering terkesan apatis terhadap orang lain padahal saya sendiri juga akan tersiksa jika memikirkannya.

Kadang kita merasa lebih baik saat membicarakan ketidakberuntungan orang lain bersama teman-teman kita. Seolah dengan membicarakan dengan penuh empati tentang kemiskinan atau kelaparan atau pembunuhan atau apa pun itu di belahan bumi mana pun akan membuat hidup mereka semua menjadi lebih baik, sementara kita membicarakannya di hidup kita masing-masing yang nyaman. Kadang kita juga merasa lebih baik saat kita mendoakan mereka. Ketika Merapi meletus tahun kemarin, saya paling benci dengan slogan "pray for Indonesia" yang diobral di berbagai media. Saya percaya Tuhan dan saya percaya dengan kekuatan doa, tapi ada kalanya ketika manusia membutuhkan sesuatu yang nyata, bukan sekedar doa. Ada kalanya ketika ungkapan "dua tangan yang bekerja lebih baik daripada seribu tangan yang berdoa" betul-betul bermakna harfiah. Maka saya tidak melakukan apa pun malam ini, tidak membicarakannya dengan siapa pun, tidak juga memanjatkan doa.

***

Bandung, 31 Desember 2011, 23.45

Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya selalu benci dengan tahun baru, terutama suara petasan atau kembang api atau apalah itu yang bikin sakit telinga. Setelah gagal untuk tidur padahal saya sudah berusaha membenamkan diri di bawah bantal dan meminum sebutir CTM agar lelap, dan karena untuk melanjutkan membaca "The Pilgrimage" yang tak kunjung saya khatamkan padahal telah sebulan sejak seorang teman meminjamkannya pada saya itu tidak mungkin di tengah gempuran ledakan seperti ini, maka saya memutuskan untuk menyelesaikan tulisan yang sebelumnya hanya tersimpan di draft ini.

Saya sudah memutuskan, malam ini saya akan sedikit berdamai dengan perayaan tahun baru dengan menganggap kebisingan demi kebisingan dari terompet dan kembang api itu adalah hadiah untuk orang-orang yang selama ini terlalu takut untuk saya pikirkan dan terlalu malu untuk saya doakan. Hal-hal yang saya benci tersebut juga sebenarnya merupakan kemewahan yang tidak sederhana untuk mereka. Maka saya akan menurunkan ego saya dan menikmati langit yang kembali tersamarkan warna aslinya oleh semburat warna-warni sepersekian detik. Mungkin sehabis ini saya juga akan berdoa. Semoga selamat alam semesta beserta isinya. Amin.

Monday, December 26, 2011

discombobulate

Ceritanya dulu ketika saya SD, uang lebaran saya masih tersisa cukup banyak. Saat itu Tamiya sudah tidak begitu keren lagi, maka daripada saya bingung akan menggunakannya untuk apa, saya ikut kakak saya ke Palasari (semacam pasar buku di Bandung), niat saya adalah membeli buku, buku apa saja. Di sana saya melihat sebuah buku yang sebenarnya sudah tidak asing lagi, buku tentang detektif yang sering diceritakan dalam komik Conan, Sherlock Holmes. Kemudian saya menukar seluruh sisa uang lebaran saya dengan buku itu. Judulnya "Kumpulan Kasus Sherlock Holmes". Buku pertama yang saya beli dengan uang saya.

Setelah itu, seluruh judul dari karangan Sir Arthur Conan Doyle itu telah saya miliki. Novel yang sebenarnya tidak cocok dibaca oleh seorang anak SD, dan sebetulnya ceritanya baru saya pahami ketika kuliah saya membaca ulang buku-buku tersebut. Tapi tetap saja, kekaguman terhadap sosok Holmes itu telah mengendap di alam bawah sadar saya. Ketika saya SMP, ketika sedang booming-boomingnya Counter Strike, saya selalu memakai nickname "Holmes" ketika bermain, dan teman-teman saya selalu keliru dengan menganggap saya menyukai Katie Holmes. Bahkan Sherlock Holmes sebenarnya adalah salah satu alasan saya kuliah di psikologi. Ketika saya bercita-cita menjadi detektif, dan menyadari tidak ada fakultas di Indonesia yang mengajari orang menjadi detektif, maka saya berganti cita-cita, profesi yang sedikit mirip: psikolog.

Karena itulah, ketika dua tahun yang lalu saya mendengar Sherlock Holmes akan dibuat film dan disutradarai oleh Guy Ritchie, saya langsung over-excited karena saya juga pecinta semua film Guy Ritchie (kecuali "Swept Away"). Meski pun sebenarnya agak mengecewakan karena hampir tidak ada karakter dalam film tersebut yang beraksen Inggris, tapi Sherlock Holmes versi Guy Ritchie benar-benar menghibur dan memuaskan saya dengan mengkonversi karakter asli Holmes dalam novel yang serius, dingin, sarkas, dan sedikit humoris menjadi Holmes yang cerdas tapi amat sangat konyol. Sangat Guy Ritchie.

Kemudian tahun ini Guy Ritchie membuat sekuelnya, "A Game of Shadows". Setelah berbulan-bulan menunggu, kemarin akhirnya saya berhasil nonton film itu setelah siangnya berdiri dalam antrian penonton yang panjangnya melebihi antrian pembeli tiket di stasiun Lempuyangan setelah PT KAI menerapkan peraturan tidak boleh ada penumpang berdiri di kereta ekonomi. Guy Ritchie terlihat lebih banyak bereksperimen dalam sekuel ini, dari mulai efek sampai pergerakan kamera yang kesemuanya sangat kental dengan ciri khas Guy Ritchie. Sayangnya Guy Ritchie sempat agak terlalu menikmati eksperimennya sehingga sedikit kebablasan dalam beberapa hal yang membuat kenikmatan menonton menjadi sedikit berkurang.

Soal musik, saya sangat menyayangkan mengapa Hans Zimmer selaku composer dalam dua film Sherlock Holmes tersebut terkesan sangat tidak kreatif dengan menggunakan kembali hampir semua score dalam film pertama di film kedua ini. Pemeran Prof. Moriarty juga tidak begitu memikat saya, gestur, ekspresi, serta cara berbicaranya terkesan seperti penjahat pada umumnya. Saya berpikir betapa film ini akan sangat sempurna jika yang memerankan Moriarty adalah Anthony Hopkins. Tapi secara keseluruhan, "A Game of Shadows" terasa lebih menyenangkan dan mengenyangkan untuk saya dibanding yang pertama. Ini terasa lebih..epic!

Tapi meskipun saya menyukai kedua film tersebut, sejujurnya saya lebih menyukai Guy Ritchie ketika dia menyutradari "Lock, Stock", "Revolver" atau "Snatch", karena dalam film-film tersebut Guy Ritchie bisa menjadi lebih jujur. Dalam seri Sherlock Holmes, Guy Ritchie terlihat menjadi sangat Hollywood dan mengikuti pasar. Satu hal yang sangat saya benci dalam film action adalah karakter utamanya selalu menjadi menangan. Contoh dalam "A Game of Shadows" adalah ketika Holmes, Watson, dan teman-teman gipsinya berlarian di hutan karena dikejar oleh serdadu Jerman. Peluru-peluru yang ditembakkan oleh para serdadu itu tidak ada yang mengenai karakter-karakter penting dalam cerita, tetapi ketika salah satu jagoan menembak ke belakang, tembakannya selalu tepat sasaran.

Hal semacam inilah yang dilakukan juga oleh Christopher Nolan dalam "Inception", meski pun film itu menurut saya amat bagus, saya lebih menyukai Nolan ketika dia membuat "Following", "Memento", atau "Insomnia". Nolan terasa lebih jujur dan terasa lebih Nolan ketika membuat film-film tersebut dan ketika membuat "Inception", mau tidak mau ada hal-hal yang mesti dia tinggalkan demi memenuhi selera pasar dan kebutuhan industri. Hmm tiba-tiba saya malah jadi kepikiran, bagaimana jika Guy Ritchie dan Nolan suatu hari memutuskan untuk bertukar posisi, Guy Ritchie melanjutkan seri Batman, dan Nolan melanjutkan seri Sherlock Holmes. Saya pasti akan orgasme, pasti.

Wednesday, December 21, 2011

touché!

"where do you want to go, my heart?"
"anywhere, anywhere, out of this world."
-Charles Baudelaire

Ketika SMA, saya punya teman yang pemikirannya 'berbeda' dari siapa pun yang berada dalam radius lingkungan sekolah saya. Mungkin dia semacam Syekh Siti Jenar atau Gus Dur yang pemikirannya lebih maju dari zamannya sehingga seringkali lingkungan sosial tidak memahaminya untuk kemudian menjadi antipati terhadapnya. Saya dan beberapa teman yang memang semenjak awal selalu menganggap sekolah kami sangatlah menyebalkan dilihat dari segi mana pun, kemudian menjadi berteman akrab dengannya. Kami membicarakan segala hal yang sepertinya tidak akan dipahami oleh semua orang, tentang riuhnya politik, tentang zine-zine tua yang isinya selalu relevan untuk dibaca kapan pun, tentang band-band underground yang liriknya kacangan tapi jujur, tentang buku seorang pemuja setan, tentang alkohol, tentang Tuhan.

Kemudian pernah suatu hari sekolah kami mengadakan pensi, satu-satunya pensi yang pernah dibuat oleh SMA selama saya sekolah. Setelah bosan mendengar band-band yang begitu saja, saya dan teman saya itu memutuskan untuk menarik diri dari kerumunan dan duduk di satu pojokan yang sepi dari siapa pun. Kami ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya dia mengatakan hal yang menarik:
"Kamu pernah ngerasain kesepian gak, Bi?"
"Pernah lah.."
"Kesepian yang bener-bener sepi?"
"Maksudnya gimana?"
"Jadi gini, kamu tahu kan kalo alam semesta tu luas, luas banget, ga ada ujungnya malah. Nah kita manusia tu cuman titik keciiiil banget dari sesuatu yang luas banget ini. Bahkan planet yang kita tinggalin tu aja gak ada artinya dibandingin alam semesta. Jadi kalo Bumi kiamat pun sebenernya gak ada pengaruhnya buat alam semesta itu sendiri, kalo ada ya kecil aja. Nah apalagi kita manusia, kalo kita mati tu sama sekali gak ada pengaruhnya buat semua ini. Tiap aku mikir betapa kecilnya manusia tu aku selalu ngerasa kosong, sepi. Itu kesepian makro namanya, Bi.."
Kesepian makro, hal yang mungkin sangat familiar dan sering saya alami tetapi saya tidak tahu istilahnya. Bertahun-tahun saya akrab dengan istilah itu, dan perlahan menanamkannya ke dalam otak saya sebagai hal yang seharusnya, bahwa kita memang tidak penting, bahwa manusia memang tidak berarti apa-apa.

Lalu beberapa waktu yang lalu ketika saya kembali merasakan perasaan seperti itu lagi, saya mengirim SMS kepada teman saya itu yang sesungguhnya telah lama sekali kami tidak bertemu dan berkomunikasi. Pesan singkat "kesepian makro." yang kemudian dibalas:
"no one will ever mean anything significant, so fuck being something for the big concept. i am being something by my own standard."
Tidak saya balas. Saya cuma tersenyum. Betapa Forrest Gump lagi-lagi benar, dunia adalah sekotak coklat berbagai rasa, kita akan tahu rasanya hanya jika kita mau memakannya.

Tuesday, December 13, 2011

silence is the hardest thing for us to unveil

If the sunset is high above
calling us to catch the light up
the heat of our heart, warms like the weather
so we keep walking hand in hand

grass in front of us
won’t barry the road we passed like before
wind blowin’ softly
caressing our empty heart
so we’ll never be lonely anymore

a word can hold the secret of the universe
and silence is the hardest thing for us to unveil 

(Pure Saturday-Spoken)

Monday, December 12, 2011

bacalah kudai!

"perpustakaan adalah rumah sakit bagi pikiran."
-Anonim
Pesimis. Itulah yang sempat dirasakan oleh saya dan teman-teman KKN ketika awal Agustus kemarin akan membuat taman bacaan di salah satu desa di Pagaralam. Tanggapan warga dan pemuda di sana yang cukup dingin ditambah kesadaran membaca warga yang sangat rendah adalah penyebabnya. Program pembuatan taman bacaan (atau saya lebih suka menyebutnya "perpustakaan" walau pun teman saya menolaknya karena menurutnya ini terlalu kecil untuk disebut perpustakaan, padahal menurut saya perpustakaan itu tidak ada hubungannya dengan ukuran) tersebut telah direncanakan jauh-jauh hari di Jogja. Kami telah mengumpulkan sumbangan buku dari berbagai sumber yang bisa kami mintai, dari mulai sesama mahasiswa sampai perpustakaan kota. Kemudian terkumpullah sekitar 500 eksemplar buku dari berbagai spesies dan nama.

Setelah itu kami harus menyortir lagi buku-buku mana saja yang sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam perpustakaan tersebut kelak. Setelah itu ada klasifikasi. Kami belajar menggunakan klasifikasi Dewey yang lucunya baru saja saya baca tentang itu di "Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken"-nya Jostein Gaarder beberapa waktu sebelumnya. Yang cukup sulit adalah menentukan tempat dimana perpustakaan ini akan berada. Ada warga yang menawarkan tanah kosong di samping rumahnya untuk digunakan, tetapi kami tidak memiliki uang untuk membangun bangunan baru. Ada tawaran untuk menggunakan halaman belakang masjid, tetapi jika hujan akan kebasahan. Akhirnya ada warga yang menawarkan kolong rumahnya sebagai tempat berlabuh buku-buku tersebut (warga Pagaralam tinggal di rumah panggung, jadi kolong rumahnya biasa digunakan untuk gudang atau kandang anjing).

Pembersihan total bekas gudang tersebut kami lakukan selama berhari-hari, dari mulai memindahkan barang-barang yang debunya banyak minta ampun, menambal lubang di sana-sini, mengecat ulang, sampai menggambari tembok dengan tokoh "Shaun The Sheep" yang setelah jadi malah mirip monster laba-laba. Segera setelah peresmian perpustakaan yang kami beri nama Bacalah Kudai (artinya adalah "bacalah dulu" dalam bahasa Besemah) tersebut dilakukan, berhamburanlah para manusia dari mulai anak-anak sampai orangtuanya untuk mengambil buku, buku apa saja. Segala keraguan kami terhapuslah sudah, warga jadi senang membaca. Sungguh pemandangan yang indah, melihat para warga memegang buku sambil duduk bersandar di dinding bergambar monster laba-laba dan pelangi yang tidak simetris.

Hingga KKN selesai pun, ternyata Bacalah Kudai tetap berjalan dengan diurus oleh pemuda karang taruna. Bahkan tempo hari kami dikabari oleh ketua RW bahwa di sana para warga sedang bergotong royong membangun TK di sekitar perpustakaan, semua berawal dari kegiatan di perpustakaan yang semakin beragam dan progresif. Maka saya tetapkan membuat perpustakaan di desa sebagai salah satu hal terkeren yang pernah saya lakukan. Dan karena ini menyenangkan, saya harus melakukannya lagi kapan-kapan.

Wednesday, December 7, 2011

away we go: lagi-lagi tentang perjalanan, dan lagi-lagi tentang pulang

Saya adalah seorang pemuja film, segala jenis film, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Jika diibaratkan makanan, buku adalah makanan penuh gizi yang harus dikunyah pelan-pelan, diresapi, dihayati, ditelan sedikit-sedikit dengan penuh hati-hati, dan setelahnya harus ditunggu agar gizi-gizi yang terkandung di dalamnya terserap sempurna ke dalam otak kita; sementara film adalah makanan yang mengandung nilai gizi yang sama tetapi dapat dikonsumsi secara cepat dengan sekali telan, mungkin semacam beragam jenis buah, sayur, daging, serta karbohidrat yang dicampur menjadi satu, dijus, kemudian dapat dihabiskan dalam beberapa detik, dan setelahnya otak kita sama-sama mendapat asupan gizi yang berguna.

Tetapi sayangnya tidak semua film yang saya tonton memiliki rasa yang pas untuk "lidah" saya. Film terakhir yang saya tonton yang menurut saya bagus adalah Pintu Terlarang-nya Joko Anwar, dan itu sudah hampir dua bulan yang lalu. Maka sebelum saya berubah menjadi retarded karena setiap hari dibombardir oleh episode demi episode South Park dan Family Guy yang memaksa untuk menanggalkan segala bentuk penggunaan intelegensi serta rasionalitas untuk bisa menikmatinya, saya memutuskan untuk pergi ke Moviebox dan mengajak *ehm apa itu istilahnya? "pacar"? yah itulah* dan memilih salah satu judul film secara acak untuk ditonton saat itu juga, dan terpilihlah Away We Go.

Disutradari oleh Sam Mendes, orang yang membuat Road to Perdition (film yang cukup berpengaruh untuk saya beberapa tahun yang lalu), Away We Go memiliki plot yang sederhana dan kompleks di saat yang sama. Sepasang kekasih bernama Burt dan Verona yang sedang hamil tua (kekasih, bukan suami-istri, karena Verona tidak pernah memahami mengapa orang harus menikah) melakukan perjalanan keliling Amerika untuk bersenang-senang setelah orang tua Burt yang selama ini tinggal di dekat mereka pindah ke Belgia.

Dalam perjalanannya, mereka bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang kelak akan mengubah hidup mereka. Memang tipikal film perjalanan, dimana si tokoh akan belajar dari perjalanannya untuk kemudian menemukan bahwa harta karun terbesar mereka selama ini sebenarnya terletak tak jauh dari mereka. Tapi Sam Mendes berhasil dalam mengemas aspek-aspek romantis, cerdas, lucu, menghibur, serta melegakan secara utuh ke dalam sebuah film Amerika yang menurut saya sama sekali tidak terasa Holywood, malah mirip film-film Eropa. Yang jelas Away We Go mutlak memberikan saya kepuasaan menonton dan otomatis masuk ke dalam daftar film bergizi yang saya konsumsi tahun ini.

Berhubung saya tidak terlalu suka mereview sesuatu apalagi film, karena review itu seringnya malah menjadi racun yang membuat kepuasan menonton menjadi berkurang karena pikiran kita telah dipenuhi oleh ekspektasi-ekspektasi yang berasal dari pikiran orang lain, maka tulisan ini saya akhiri di sini saja. Ini memang bukan film serius, tapi juga bukan film kacangan. Agak tidak direkomendasikan untuk ditonton sendirian, dan sangat direkomendasikan untuk ditonton berdua bersama *ehm apa itu tadi istilahnya? "pasangan"? yah apalah itu* yang sama-sama tidak percaya dengan konsep pernikahan. Selamat menonton, selamat berjalan, selamat pulang.

Tuesday, November 22, 2011

que ironía

Serupa air terjun yang tak pernah henti menerjunkan pesan kepada tanah melalui partikel-partikel bening yang sesungguhnya adalah bagian dari dirinya, aku akhirnya sampai di titik ini. Titik di mana aku akhirnya harus terjun kembali untuk menyampaikan pesan darimu yang tanpa sadar sebenarnya ditujukan untuk dirimu sendiri, juga untukku.

Aku menutup kelima indraku dan bersikeras mengatakan pada diriku sendiri bahwa semua ini tidak pernah terjadi sebelumnya, bahwa pesan-pesan tersebut ditujukan hanya untukmu, dan aku tidak memiliki peran apa-apa di dalamnya kecuali hanya sebagai media pengantar, atau pemantul, seperti cermin, yang kacanya penuh dengan kata-kata yang tertulis terbalik.

Maka aku membiarkan diriku membeku di udara, membiarkan semuanya mengalir, membiarkan semuanya terjun bebas, membiarkan semuanya berubah kecuali diriku. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya aku pun akan berubah dengan atau tanpa kehadiran dirimu, karena pada akhirnya sang kala akan mampu mengikis karang yang terbuat dari kumpulan apologi yang kubuat, sekeras apa pun itu. Maaf, jika suatu hari aku harus berjalan tanpamu, tanpa siapa pun.

"If irony were made of strawberries, we'd all be drinking a lot of smoothies right now."

Monday, November 14, 2011

footlose and fancy free

Dalam "Into The Wild", Alexander Superstramp alias Christopher McCandless bilang bahwa kebahagiaan itu tidak datang dari hubungan antar manusia, makanya dia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan mapannya, meninggalkan keluarga dan semua uangnya untuk kemudian pergi sendirian ke utara, ke Alaska. Untuk apa? Untuk menemukan dirinya, untuk menemukan kebahagiaan di tengah kesendiriannya.

Sepertinya ide untuk menarik diri dari pola hidup yang telah terbentuk selama bertahun-tahun, mengendap dalam bawah sadar, untuk kemudian diyakini sebagai sesuatu yang seharusnya pernah muncul dalam benak siapa pun. Begitu pula saya. Sehabis menonton film tersebut beberapa tahun yang lalu, saya selalu terobsesi untuk melakukan perjalanan sendirian, ke tempat yang jauh, yang benar-benar di luar jangkauan rasa aman dan nyaman saya. Tetapi berbagai kesibukan saat itu tidak pernah mengizinkan saya untuk melakukannya, sehingga obsesi itu akhirnya takluk juga oleh kenyataan bahwa segala sesuatu --bahkan yang terliar sekalipun-- itu menunggu saat yang tepat untuk terjadi.

Saat ini ketika saya telah memiliki banyak waktu untuk melakukan lebih banyak hal yang dulu tidak bisa saya lakukan, seperti melakukan perjalanan sendirian, saya malah tidak melakukannya. Karena ketika hidupmu tidak lagi menawarkan tantangan, ketika tidak ada lagi beban-beban yang membuatmu sulit untuk sekedar menghela nafas, akan sulit untuk menemukan alasan yang tepat untuk dirimu sendiri kenapa kamu beranjak dari itu semua. Justru saya malah merindukan itu semua, saat-saat dimana sulit bernafas karena pekerjaan yang sepertinya tidak pernah habis justru menjadi momen yang paling melegakan.

Apakah hubungan antar manusia benar-benar tidak menawarkan kebahagiaan yang dapat direguk di dalamnya? Saya tidak tahu. Yang jelas memang kadang relasi dengan orang lain akan membuat gesekan-gesekan dalam pikiran yang membuat kita tidak nyaman. Karena bukankah ketika berhubungan dengan orang lain sebenarnya tanpa sadar kita telah sepakat untuk berbagi dunia dengannya? Kemudian ketika suatu hari terjadi sesuatu dalam hubungan itu yang bertabrakan dengan konsepsi-konsepsi kita tentang hidup, tentang dunia personal yang kita masing-masing miliki, itu akan menimbulkan friksi dalam hati kita?

Lalu apakah sebaiknya setiap orang hidup dalam dunianya sendiri dan berkubang dalam kepercayaan-kepercayaan serta egonya masing-masing sehingga dunia personalnya yang ideal tidak perlu terkontaminasi oleh masalah-masalah yang datang dari galaksi kehidupan orang lain? Entahlah, yang jelas ada konsekuensi untuk setiap hal yang terjadi.


Tapi saya tidak suka ending dari film itu (yang sebenarnya adalah ending dari kehidupan nyata seseorang). Ketika akhirnya sebelum mati McCandless bilang bahwa kebahagiaan itu hanya ada jika dibagi, bahwa manusia itu tidak akan bahagia ketika tidak ada orang lain di sekelilingnya. Bukan ide tentang kebahagiaan itu yang mengganggu, tetapi bahwa dia mengatakan hal yang sama sekali kontradiktif dengan kepercayaannya selama ini ketika dia tengah menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya di tempat yang sangat dia impikan dan membutuhkan perjuangan yang keras untuk bisa sampai di sana adalah kenyataan yang benar-benar menyebalkan untuk dilihat.

Semacam seseorang yang berhasil menjual gelang Power Balance kepada orang banyak untuk kemudian berkata bahwa sebenarnya gelang-gelang itu tidak memiliki efek apa pun. Yah, begitulah.

Friday, November 11, 2011

ambrosia

Halo. Saya bikin buku loh. Niat awalnya bikin karena mau diikutin lomba, tapi berhubung ga menang, akhirnya saya perbanyak sendiri. Judulnya Ambrosia, isinya biasa aja sih, cuma kumpulan cerita-cerita fiksi sama puisi atau apa pun deh itu namanya.

Pengennya sih saya bagi-bagiin gratis, tapi berhubung saya buat makan aja masih nunggu kiriman (yang sering telat), jadi kalo mau gantiin ongkos cetak aja 30 ribu. Iya emang mahal, kalo saya sih daripada beli buku dari penulis yang namanya aja saya ga pernah denger, mending ke Togamas dan beli buku harga segitu yang kualitasnya jauh lebih menjanjikan.

Tapi kalo tetep pengen mah ya udah mau gimana lagi, hubungin aja saya di lulabimenujumati@yahoo.co.uk atau 08562554565. Terima kasih.

Tuesday, November 8, 2011

is it wicked not to care?

"God help the girl, she needs all the help she can get."

Tuesday, October 25, 2011

me strange old mate

Bandung bagi saya hari ini terasa seperti kawan yang telah lama sekali tidak berjumpa: saya tidak lagi mengerti bahasanya, apa yang dia bicarakan, apa yang dia kenakan, dan apa yang dalam pikirannya. Kami sudah tidak bisa lagi lama-lama bercengkerama, karena masing-masing dari kami telah berada di dunia yang berbeda yang tidak memungkinkan bagi kami untuk menjelaskan dengan tepat dunia kami agar masing-masing dari kami mengerti satu sama lain. Yah, everything's changing, eh?

nasionalisme komodo

"Dukung Pulau Komodo menjadi keajaiban dunia dengan cara mengetik komodo dan kirim ke 9818"
Semenjak kalimat itu bertebaran di berbagai media, bukannya ikutan mengirim SMS, justru saya merasa aneh. Aneh karena kenapa juga keajaiban dunia harus ditentukan lewat polling SMS, dan makin aneh karena banyak orang yang merasa perlu untuk mendukung upaya absurd tersebut.

Oke saya akui, saya bukan seorang nasionalis. Saya tidak pernah menonton Timnas Indonesia bertanding walau pun berulang kali diajak teman. Selain tidak suka sepak bola, saya juga selalu geli sendiri dengan "nasionalisme dadakan" dalam acara semacam itu. Saya tidak pernah mencintai negara ini seperti orang lain di negeri mencintainya. Bukan, bukan karena pemerintah di sini (katanya) korup, bukan karena rakyat di sini (katanya) pemalas dan plagiat. Atau bukan berarti saya tidak menghargai jasa para pahlawan yang (katanya) berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Saya hanya tidak pernah setuju dengan konsep bernama "negara", di mana sebuah wilayah bisa dikuasai dan didominasi oleh manusia. Sebuah konsep di mana manusia-manusia di dalamnya sibuk berkompetisi dengan penduduk negara lain bahkan untuk sebuah hal paling aneh sekalipun. Sebuah konsep di mana manusia di dalamnya bersusah payah membuktikan untuk membuktikan pada diri mereka sendiri bahwa mereka lebih baik dalam segala bidang dari manusia-manusia dari teritori lain.

Bukan berarti saya membenci Indonesia beserta segala isinya. Saya selalu ingin pergi ke Belitung, saya selalu ingin melihat Anak Krakatau dari dekat, saya ingin ke Aceh dan menikmati kopi kala pagi di sana, saya selalu merasakan kesenangan setiap kali membaca cerita wayang, saya selalu ingin bertemu dengan Suku Dayak dan Baduy Dalam di daerah asli mereka, saya selalu merasa Bali adalah tempat terdamai di Bumi, dan Raja Ampat adalah surga yang harus saya datangi suatu hari. Maka ketika saya mendambakan dan menyukai hal-hal tersebut, bukan berarti saya mencintai Indonesia, kebetulan saja hal-hal tersebut terdapat dalam wilayah yang dilabeli "Indonesia". Sama jika saya berkata selalu ingin mengunjungi Eropa, bukan berarti saya lebih menyukai Eropa dibanding Indonesia. Tapi kebetulan saja "Eropa" terletak di Eropa. Aneh? Tidak juga.

Lagipula menurut saya hari ini nasionalisme adalah barang mewah, barang eksklusif. Banyak orang dengan kreatifnya mendandani nasionalisme agar terlihat menarik, tapi justru hal-hal tersebut membuatnya menjadi lucu. Satu contoh, penulisan Indonesia yang sering ditulis dengan "indONEsia" dengan atau buku yang ditulis oleh seorang presenter TV yang diberi judul "Nasional Is Me". Bukankah lucu, jika untuk menunjukkan kecintaan dan loyalitas untuk sebuah negara saja harus menggunakan bahasa dari negara lain? Maksud saya, apa bahasa Indonesia begitu memalukannya untuk digunakan? Apa mereka lupa ada sesuatu bernama "sumpah pemuda"? Pengaruh globalisasi? Mengimbangi progesivitas zaman? Blah!

Oke cukup, balik lagi ke komodo. Saya tidak tahu bagaimana ceritanya sampai untuk menentukan tujuh keajaiban dunia yang baru mereka harus memutuskannya lewat polling SMS. Tetapi sekali lagi, kenapa juga keajaiban dunia harus ditentukan lewat SMS? Keajaiban tetap akan menjadi keajaiban dengan atau tanpa persetujuan dari orang banyak. Saya sempat kaget setelah mengetahui ternyata Borobudur tidak pernah masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia, padahal selama belasan tahun saya dicekoki oleh informasi bahwa Borobudur adalah salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Lalu saya sadar, dengan atau tanpa masuk daftar keajaiban dunia versi manapun, saya tetap menganggap Borobudur adalah keajaiban, dan saya tetap menyukainya.

Kemudian tadi siang saya lihat di berita, Pulau Komodo terancam kalah dari bursa keajaiban karena mendapat saingan dari Malaysia, yaitu kadal air raksasa yang konon mirip biawak. Baik komodo atau pun kadal air raksasa yang akhirnya menang, menurut saya kemenangan bukan milik mereka, tapi milik manusia yang mendapat keuntungan darinya. Kata pemerintah jika Pulau Komodo menjadi keajaiban baru, pendapatan warga NTT akan meningkat seiring meningkatnya jumlah wisatawan yang datang. Lalu bagaimana nasib para komodo itu? Bukan kah mereka menjadi ajaib karena merupakan hewan yang berhasil bertahan hidup dari dinamika alam selama jutaan tahun? Jika Pulau Komodo kelak menjadi semakin populer, bukan kah akan semakin banyak manusia yang datang ke sana? Dan bukankah itu malah akan membuat para komodo itu menjadi terbiasa dengan manusia, kemudian menjadi jinak dan lama-lama kehilangan naluri "komodo"-nya? Lalu apa ajaibnya hal semacam itu?

Komodo yang malang, bertahan hidup jutaan tahun hanya untuk menjadi tontonan makhluk baru bernama manusia.

Thursday, October 13, 2011

gathering storm

"terbuat dari apakah kenangan?"
karena pada suatu kala
mereka yang pernah singgah dalam kepalamu
akan berhamburan keluar
tanpa aba-aba
tanpa pertanda
tanpa tata krama
 tidak ada lagi yang bisa dipercaya
tidak ada lagi yang bisa dipegang
bahkan tidak juga kau sendiri
karena bukankah kau sendiri
juga berubah?
juga tak betah terbang satu arah?
sementara Tuhan sudah jenuh
untuk kau ajak berkeluh
dan ternyata
tidak pernah ada akhir
ini adalah lingkaran
dengan pengulangan
yang tersamarkan
jadi,
"terbuat dari apakah kenangan?"

Sunday, October 2, 2011

awalan, di sisi lain juga merupakan akhiran dari sesuatu yang sama

"i've got the best thing in the world
coz i got you in my heart.." 


Entahlah, tiba-tiba saja lagu itu berputar terus dalam kepala saya sepanjang perjalanan menyusuri Selokan Mataram. Kemudian kami sampai di sebuah warung (atau kafe? atau kedai? apalah itu namanya) yang menjual susu murni dengan berbagai varian rasa. Sebuah tempat yang sebenarnya kami sesali untuk mendatanginya karena belakangan kami baru sadar bahwa itu adalah semacam tempat --emm, maaf-- gaul.

Maka di tengah-tengah para manusia yang sebagian besar sibuk menunduk menekan-nekan benda plastik milik mereka dan suara lagu-lagu populer yang diputar dengan volume kelewat besar oleh operator dari balik meja kasir, kami duduk sambil menyeruput susu dingin rasa nangka dan teh hijau yang kami pesan sambil sesekali mengomentari orang-orang sekitar kami, dari mulai sekelompok anak remaja yang duduk di pojokan yang tampak seperti gabungan antara pesulap, anak band, dan Justin Bieber dengan pakaian serba hitam mereka yang ganjil sampai stasiun televisi yang belakangan gemar membayar pelawak-pelawak tidak lucu (mungkin mereka bukan pelawak, tapi dengan tendensi untuk menjadi lucu dan menghibur yang mereka bawa, toh predikat "pelawak tidak lucu" pas juga untuk dilekatkan pada mereka) untuk mendakwahkan pesan-pesan keagamaan.

Iya saya tahu saya seharusnya memang tidak perlu mengomentari remaja, apalagi penampilannya, karena remaja memang seharusnya seperti itu, dan toh dulu juga mungkin saya sama anomalinya seperti mereka. Dan iya televisi memang sudah brengsek dari sananya, dan membicarakan lagi kebrengsekannya sebenarnya adalah hal yang sia-sia. Tapi membicarakan hal yang tidak perlu dibicarakan dan sia-sia sebenarnya perlu juga dalam saat-saat tertentu. Bukankah manusia adalah yang makhluk yang senang ngrasani? Senang berkomentar? Jadi ya perlu juga, kebutuhan psikologis kok.

"i've got the best thing in the world
coz i got you in my heart.." 


Tiba-tiba lagu itu terdengar dari speaker yang volumenya perasaan makin besar saja. Wah Tuhan sedang bercanda, pikir saya dalam hati sambil saya senyum-senyum sendiri yang juga dalam hati. Ini mungkin pertanda. Lalu saya mulai saja percakapan itu.

"Jadi gimana menurut kamu?"
"Tentang apa?"
"Tentang kita.."

Dan sederet dialog lanjutan yang berakhir beberapa saat setelah lagu itu berakhir. Kami pun bersalaman, memulai sesuatu yang harus saya akui memang telah membuat saya harus menelan kembali apa yang selama ini telah saya muntahkan, tentang relasi, tentang hubungan antar manusia, tentang perasaan, dan hal-hal semacamnya.

Cinta adalah perangkap, dan malam ini saya telah melepaskan segala bentuk pertahanan diri untuk membiarkan diri saya terperangkap begitu saja.

Tuesday, September 20, 2011

poly-tricks

Jogja telah begitu menyatu dalam memori saya, hampir tidak ada lagi tempat yang belum pernah saya jamah disini. Maka ketika sore tadi kami bingung mau kemana untuk mengisi waktu kami yang saat ini telah begitu longgar semenjak tercerabut dari rutinitas kepengurusan, saya memacu motor saya begitu saja tanpa tujuan di kota yang belakangan cuacanya bersahabat ini. Dia yang saya bonceng juga tidak banyak bicara, karena kami telah sepakat bahwa pertanyaan "mau kemana?" adalah pertanyaan yang absurd dan sulit untuk dijawab dan seringkali malah akhirnya tidak membawa kami kemana-mana.

Kemudian kami sampai di sebuah tempat dimana turis biasanya mengasosiasikan Jogja dengan tempat ini selain Malioboro: Alun-Alun Utara. Tempat itu begitu ramai. Banyak sekali orang memadati lapangan dengan dua pohon beringin itu. Sebagian besar berpakaian hitam, sebagian lagi memakai baju bergambar dua orang berjas dan memakai peci, ada juga orang-orang yang memakai kaos bertuliskan salah satu suporter sepakbola. Bendera-bendera besar berwarna merah dan kuning dikibarkan dimana-mana. Mata mereka semua tertuju kepada orang-orang yang berbicara diatas panggung di sebelah selatan. Oh rupanya ini acara kampanye calon walikota.

Beberapa saat kemudian puluhan motor disiapkan untuk berkonvoy entah menuju kemana. Sebagian besar menggunakan knalpot super berisik yang sibuk digerung-gerung oleh si pengendara yang memboncengi dua orang di belakangnya dan tidak ada yang memakai helm. Saya sempat bingung, saya sedang berada di tengah massa pendukung calon walikota atau geng motor, atau malah kumpulan preman pasar. Entahlah, sentimensi saya terhadap kampanye memang tidak akan pernah hilang. Kegiatan yang menurut saya tidak ada bedanya dengan prostitusi. Iya kan? Sama-sama "menjual diri", bedanya kampanye adalah prostitusi yang dihalalkan dan malah sering didukung oleh para ulama-ulama entertainment yang mempromosikan calon yang membayarnya.

Karena iseng, kami bergabung dengan parade motor berisik itu. Sesuatu yang akhirnya kami sesali, karena knalpot mereka terus saja dikumandangkan sementara jalanan begitu macet. Saya hampir memaki keras-keras, tapi tidak jadi karena di kiri-kanan saya adalah mereka yang sepertinya simpatisan yang begitu loyal dengan membawa bendera yang lebih besar dari motornya. Ketika saya mendapat kesempatan untuk berbelok kearah Wijilan dan membebaskan diri dari mereka yang terus kearah timur, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kemudian dibawah Plengkung Wijilan saya berteriak kencang-kencang "asuuuu!!". Kami berdua tertawa terbahak-bahak, dan melanjutkan perjalanan ke arah selatan sambil merayakan jalanan yang sepi dari para pendukung prostitusi itu.

Monday, September 19, 2011

curhat#8

ego saya ternyata sangat besar. saking besarnya sampai kadang menghalangi pandangan.

Sunday, September 18, 2011

urbanisasi vs udikisasi

Ketika semester 1, saya ingat dosen antropologi saya pernah memberikan soal ujian yang kira-kira berbunyi "coba jelaskan fenomena mudik lebaran menurut teori apa saja yang Anda suka!". Jujur, bahkan sampai sekarang, saya masih belum bisa memahami mengapa orang-orang mau melakukan sesuatu bernama mudik. Mengapa orang-orang mau berdesak-desakan dalam berbagai angkutan transpotasi umum yang harga tiketnya lebih dari dua kali lipat harga normal. Mengapa orang-orang rela bermacet-macetan di jalan yang panas berdebu berjam-berjam, bahkan berhari-hari, belum lagi ditambah statistik kecelakaan yang selalu meningkat tajam.

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin mengusik saya ketika tempo hari saya melakukan perjalanan Jogja-Bandung saat arus balik sedang memuncak menggunakan mobil dengan waktu 24 jam. 24 jam! Sehari penuh. Memang saya pernah melakukan perjalanan selama dua hari dua malam ke Sumatera. Tapi 24 jam untuk ukuran Jogja-Bandung adalah sesuatu yang menggelikan. Jarak yang biasanya hanya saya habiskan selama 8 jam menggunakan kereta, atau paling lama 10 jam dengan mobil.

Mudik, asal katanya pastilah udik, atau desa. Jadi secara logika mudik adalah pergi ke udik, atau kembali ke desa. Nah pertanyaannya, mengapa harus setiap lebaran? Mengapa tidak hari lain dimana lalu lintas sedang-sedang saja, dan harga tiket normal-normal saja? Bukankah seharusnya kembali ke desa itu bisa kapan saja dilakukan?

Kemudian, lagi-lagi tulisan Umar Kayam menyadarkan saya. Dalam salah satu kolomnya, Umar Kayam bercerita tentang jenuhnya beliau dengan acara halal bi halal pasca lebaran di kantornya, karena bersalaman dengan ratusan orang seperti itu, pastilah melelahkan dan lama-lama suara yang keluar dari mulut para peserta halal bi halal bukanlah "sugeng riyadi, mohon maaf lahir batin" lagi, melainkan hanya "huh hah huh hah" saja saking lelah dan panasnya. Kemudian di rumah Umar Kayam menceritakan hal itu pada Mr. Rigen, pembantunya. Mr. Rigen menjawab dengan serius "Lha, Bapak ini bagaimana tho? Wong masih bisa halal bi halal, silaturahmi, kok ya masih saja mengeluh tho Pak. Kalau silaturahmi itu, Pak, tidak penting apa yang keluar dari mulut kita, yang penting hati kita itu berjabat, Pak, seperti ada ikatan itu. Wong kami di desa itu senang sekali, Pak, kalau ada acara seperti itu. Tidak penting pesertanya ratusan, yang penting kami senang."

Makjleb! Secara tidak langsung cerita itu mengatakan bahwa kacamata modern itu seringkali mereduksi romantisme yang ada pada hal-hal sederhana. Seringkali kacamata modern menuntut kita untuk menjadi serba terburu-buru dan serba pragmatis dalam menyikapi berbagai permasalahan. Kemudian saya menyadari, betapa saya selama ini telah memandang fenomena mudik dengan kacamata modern. Betapa saya tidak menyadari bahwa konsep mangan ora mangan kumpul milik orang Jawa (yang mungkin sudah menjadi konsep milik orang Indonesia secara keseluruhan) telah membuat mereka melupakan segala kesulitan yang menghadang selama proses mudik, yang penting bisa berkumpul bersama keluarga besar mereka di desa. Betapa mereka telah bekerja mengumpulkan uang selama setahun penuh untuk kemudian dipakai untuk sedikit-sedikit memberi saudara mereka di desa. Tidak penting berapa, yang penting bahagia. Betapa saya selama ini telah menyepelekan romantis sederhana semacam itu.

Kemudian saya teringat pada dosen Isu-Isu Kontemporer Psikologi Sosial saya beberapa hari yang lalu. Beliau mengatakan betapa selama ini masyarakat Indonesia telah salah mendefinisikan urbanisasi. Bahwa "perpindahan penduduk dari desa ke kota" yang dijejali kepada kita semenjak SD itu bukanlah definisi urbanisasi, melainkan migrasi. Sedangkan urbanisasi yang benar adalah pengurbanan, pengkotaan, entah secara wilayah maupun secara penduduknya yang dibikin menjadi kekota-kotaan. Nah dalam memandang hal-hal semacam fenomena mudik tadi, menurut saya kita harus sering-sering melakukan udikisasi, yaitu melepas kacamata kota kita yang modern dan menggantinya dengan kacamata udik yang polos, jujur, dan sederhana.

Tuesday, September 6, 2011

menulis adalah merokok tanpa asap

Membuka blog ini, saya melihat bahwa di bulan Agustus tidak ada dalam catatan peta-waktu saya. Artinya untuk pertama kalinya dalam satu setengah tahun semenjak saya membuat blog ini, ada lubang dimana saya sama sekali tidak menulis apa-apa disini. Apologi untuk diri saya sendiri adalah karena selama KKN kemarin, saya tidak bisa menemukan waktu untuk bisa sendirian saja semenjak kemana dan kapan pun saya pergi, saya selalu bertemu orang lain, entah teman KKN maupun warga desa. Padahal saya hanya bisa menulis ketika saya benar-benar sendirian.

Tapi kemudian setelah KKN selesai pun, dan setelah saya mendapatkan waktu untuk sendirian yang berlimpah di rumah, saya masih saja kesulitan untuk menulis. Memang saya sempat membuat beberapa tulisan yang saya posting di Facebook, tapi tetap saja tulisan-tulisan itu bukan jenis tulisan yang bisa membuat saya merasa amat lega setelah menulis, seperti yang biasa saya lakukan di blog ini. Entahlah, belakangan ini terasa ada mental block ketika saya hendak mulai menuliskan sesuatu.

Seorang teman pernah berkata bahwa menulis adalah terapi terbaik untuknya. Saya sepakat, menulis adalah kegiatan yang menyembuhkan. Mungkin semacam merokok untuk saya, rasanya sungguh nikmat. Tapi seperti juga saya sering merasa sesak karena kebanyakan merokok, ada saat-saat ketika saya merasa overproduktif, saya merasa muak menulis. Dan ada saat-saat dimana saya tiba-tiba malas menulis apa pun, sama seperti saya tiba-tiba malas merokok tanpa alasan yang jelas. Bedanya, saya bisa saja berhenti merokok kapanpun saya mau, tapi saya rasa saya tidak bisa berhenti menulis.

Saya ingat ketika SD dan SMP, saya sama sekali tidak bisa menulis, entah puisi maupun cerpen. Dan jika terpaksa membuat ketika pelajaran Bahasa Indonesia, bisa dipastikan jadinya sangat cheesy. Saya mulai ketagihan menulis ketika saya pertama kali memiliki handphone, itu sekitar kelas 1 SMA. Dulu saya sering membuat puisi-puisi kacangan, sebagian saya simpan di draft handphone saya dan sebagian saya kirimkan lewat SMS kepada teman-teman dan tentu saja gebetan saya.

Saya pertama kali menulis di blog ketika semester 2. Jika saat ini saya melihat lagi blog lama itu, saya masih merasa heran kenapa dulu saya bisa menulis hal-hal semacam itu. Blog saya yang lama itu isinya tulisan-tulisan 'cerah' dan penuh optimisme semua. Entahlah, mungkin karena dulu saya masih punya pacar. (haha!)

Kemudian saya berhenti menulis cukup lama, semenjak saya memutuskan untuk tidak lagi menyentuh internet untuk alasan apapun. Kemudian karena keinginan untuk menulis yang tak bisa dibendung, saya membuat Asimetris. Semacam zine yang isinya tulisan-tulisan saya tentang apa saja yang saya cetak dan perbanyak kemudian saya sebarkan kemana saja. Asimetris 'terbit' sampai 4 edisi, sebelum akhirnya satu setengah tahun yang lalu saya kembali berdamai dengan internet, dan mulai produktif menulis kembali, di Facebook, dan di blog ini.

Saya juga sempat membuat Tumblr yang hanya beberapa teman saja yang tahu. Disana saya menulis tanpa kendali. Saya benar-benar membiarkan Id saya mengambil alih tangan saya dengan mengetikkan apa saja semaunya tanpa memperhatikan bahasa, tanda baca, apalagi substansinya. Kemudian saya deactivate, karena saya takut jika dibiarkan lama-lama saya tidak bisa lagi menulis dengan 'benar'.

Bicara tentang alasan menulis, saya setuju benar dengan apa yang dikatakan oleh Fahd Djibran. Dia mengatakan alasan dia menulis adalah supaya anak cucunya bisa mengenalnya lewat tulisannya, karena dia lebih mengenal Karl Marx dibanding kakeknya sendiri untuk alasan sederhana: karena kakeknya tidak pernah menulis.

Saya juga ingin kelak keponakan-keponakan saya mengenal paman mereka lewat tulisan-tulisannya. Atau jika saya suatu hari akhirnya berubah pikiran dan mau punya anak, sepertinya akan seru membayangkan mereka mengenali lebih dalam jiwa ayahnya lewat tulisan-tulisannya. Tapi alasan utama saya menulis sebenarnya sangat simpel: saya ingin terus berkomunikasi dengan diri saya sendiri. Saya tidak terlalu menganggap penting apa pendapat orang lain tentang tulisan saya, selama saya masih bisa merasa puas membaca tulisan saya sendiri.

Sunday, July 24, 2011

"color my life with the chaos of trouble"

Ada dua jenis orang yang paling sial di dunia ini: pertama, orang yang tidak memiliki pilihan; kedua, orang yang mempunyai terlalu banyak pilihan. Orang yang tidak memiliki pilihan akan terus berjalan dalam rel yang stagnan, monoton, tidak bervariasi, seolah hidupnya telah dirancang untuk menjadi membosankan oleh Sang Sutradara.

Sedangkan orang yang memiliki terlalu banyak pilihan akan terlena dengan pemandangan-pemandangan indah di kejauhan, tanpa pernah sadar sebenarnya dia hanya berputar-putar saja di tempat karena tidak pernah memutuskan untuk bergerak kemana. Dan suatu hari ketika pemandangan-pemandangan itu hilang ditelan kabut, dia akan sadar bahwa dia belum kemana-mana.

Saya tidak tahu apakah saya termasuk jenis yang pertama atau yang kedua, karena sepertinya malah saya sendiri yang menciptakan kabut dalam perjalanan-perjalanan saya.

Saturday, July 23, 2011

curhat#7

sudah terlalu lama saya tinggal di dunia kolektif, saat ini saya benar-benar butuh waktu untuk berdua saja dengan diri saya sendiri.

Friday, July 22, 2011

Pagar Alam: a beginning

KKN, salah satu proses yang mesti dilewati oleh mahasiswa sebelum mencapai tahap berikutnya: skripsi, kemudian graduasi. Program yang dirancang khusus sebagai wadah untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah didapatnya selama di kelas kepada masyarakat. Dua bulan yang disediakan untuk membangunkan para mahasiswa dari ranjang yang nyaman dan melemparkan mereka ke kehidupan nyata. Tentu saja itu idealnya, pada kenyataannya, seringkali KKN berakhir sebagai paket wisata yang menyenangkan bagi para mahasiswa, dibiayai oleh universitas dengan sedikit polesan rencana program disana-sini.

Sebagai salah satu mahasiswa sebuah universitas yang katanya nomor satu di Jogjakarta, saat ini saya juga sedang mengalami proses KKN, proses yang tertunda setahun karena beberapa alasa. Dari awal saya sudah berniat tidak akan KKN di Pulau Jawa, karena saya pikir KKN bisa menjadi semacam ekspedisi kecil-kecilan untuk saya keluar Jawa. Kemudian berbagai tawaran datang, dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Minahasa, Bali, Lombok, sampai Raja Ampat. Namun akhirnya pilihan jatuh pada Pagar Alam, sebuah tempat yang bahkan namanya saja belum pernah saya dengar sebelumnya. 

Pagar Alam, sebuah kota kecil di Sumatera Selatan. Dulunya tergabung dalam Kabupaten Lahat, dan baru sekitar sepuluh tahun menjadi kota sendiri. Sebelum berangkat tentu saja saya bertanya pada Google dan Wikipedia tentang kota ini, dan dari data-data yang saya dapat, tidak banyak hal menarik yang tersedia di kota ini, yang terekspos di internet hanyalah kebun teh, air terjun, dan sebuah sungai untuk arung jeram. Kalaupun ada yang berbeda disini, adalah situs-situs megalitikum yang tersebar di seluruh kota. Namun karena terbatasnya kemungkinan kesenangan yang bisa saya dapatkan disanalah yang membuat saya tertarik. Berbeda dengan Bali atau Lombok misalnya, yang jelas-jelas saya akan bisa menikmati dan dimanjakan oleh banyak hal disana, di Pagar Alam saya harus mencari dan menciptakan kesenangan-kesenangan saya sendiri dari sumber kesenangan yang terbatas, dan itu terasa lebih menarik untuk saya.

Ini adalah perjalanan pertama saya keluar Jawa. Saya memang pernah ke Bali, tapi Bali terlalu dekat untuk dibilang “keluar Jawa” menurut saya. Maka antusiasme saya semakin meningkat menjelang hari keberangkatan. Dan akhirnya hari itu datang. Hari ketika saya akhirnya naik ke dalam bus reot bernama “Sinar Dempo” yang akan terus berjalan selama kurang lebih dua hari mengantarkan saya ke Sumatera, kemudian menyeberangi selat Sunda dan melihat tulisan “Lampung” dari kejauhan, beristirahat di sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Padang terenak yang pernah saya makan, melihat kehidupan di kanan-kiri sepanjang perjalanan yang terasa berbeda auranya dengan kehidupan Jawa, saya berkata dalam hati, “inilah dia, Sumatera, tanah yang berbeda dengan tanah yang selama dua puluh dua tahun kupijak.”

Ada dua hal yang sama sekali meleset dari perkiraan saya tentang kota ini. Pertama soal udara dingin, dan kedua soal perangai penduduknya.

Berdasarkan data yang diberikan oleh teman saya yang sebelumnya melakukan survey ke Pagar Alam, kota ini sangat dingin, mungkin sedingin Dieng, sehingga kami diingatkan untuk membawa baju hangat atau jaket banyak-banyak. Saya yang memang tidak pernah nyaman dengan udara dingin mengantisipasinya dengan membawa dua buah jaket dan satu buah sweater. Tapi ternyata ketika saya turun dari bus pada jam dua pagi hari kota ini, sama sekali tidak sedingin itu. Memang dingin, tapi dingin yang wajar daerah kaki gunung, paling-paling hanya sedingin Jalan Kaliurang KM 10. 

Kemudian soal perangai penduduknya. Sebelumnya di Jogja, hampir semua teman saya yang berasal dari Sumatera memberitahu saya bahwa Pagar Alam adalah kota dengan penduduk yang beringas, kasar, senggol bacok, dan berbagai atribut tidak menyenangkan lainnya. Saya sampai membayangkan kota itu seperti Gotham City minus manusia kelelawar yang berkeliaran di malam hari. Tapi lagi-lagi kesan memang harus dirasakan sendiri, bukan hasil transfer dari orang lain. Penduduk disini ramah, walaupun memang terkesan kaku jika dibandingkan dengan orang Jawa. Mulai dari Pak RW-nya yang suara dan aksennya sangat mirip dengan pengisi suara Kakeknya Upin-Ipin, sampai para pemudanya yang gemar main voli dan jadi keranjingan UNO semenjak kami mengajak mereka bermain. Soal perangai mereka yang dicap buruk oleh kebanyakan orang, saya mendapat penjelasan dari salah satu pemuda disini:

“Kami orang Pagar Alam akan baik pada orang jika mereka baik pada kami, tapi kami bisa menjadi lebih buruk pada mereka jika mereka berbuat buruk pada kami. Orang-orang dari sini banyak yang menjadi preman di Palembang sana, mungkin karena itulah kami dicap sebagai orang-orang yang kasar.”

Tegur Wangi Baru, desa yang saya tempati, terletak di kaki Gunung Dempo, gunung tertinggi di Sumatera Selatan, merupakan sebuah desa persilangan antara dunia tradisional dan dunia modern. Di satu sisi sebagian besar warga masih mandi dan mencuci di pancuran, berburu babi hutan, percaya bahwa patung-patung batu megalithik yang banyak terdapat di kota ini adalah manusia yang diubah jadi batu oleh tokoh legenda Sumatera Selatan, Si Pahit Lidah. Di sisi lain mereka memutar lagu Justin Bieber keras-keras setiap pertandingan voli di sore hari, mengakses internet lewat ponsel mereka, dan menonton drama Korea melalui parabola yang terpasang di sebagian besar rumah mereka. Desa ini seperti remaja tanggung yang sudah terlalu banyak tahu untuk disebut anak kecil, dan terlalu muda untuk disebut dewasa.

Saya tidak pernah menyukai kopi hitam sebelumnya, tapi kopi Pagar Alam benar-benar enak. Disini saya malah menjadi kecanduan kopi, semenjak setiap hari kami disuguhi kopi oleh siapapun yang kami kunjungi. Disini perkebunan kopi merupakan salah satu komoditas utama masyarakat. Siapa pun bisa membuat bubuk kopi disini. Dari mulai menanam, memanen, menggoreng, hingga menumbuk hampir semua dilakukan sendiri.  Kopi luwak yang sekarang menjadi barang mahal itu dulunya sama sekali tidak ada harganya untuk mereka. Apa yang mereka sebut sebagai “tahi musang” itu hanyalah benda yang hanya sewaktu-waktu mereka pungut untuk kemudian dipakai sebagai obat, dan lebih banyak berakhir sebagai sampah. Barulah beberapa tahun ke belakang ada harga yang disematkan kepada kotoran itu.

Sudah hampir tiga minggu saya berada disini, dan meskipun sudah banyak hal baru yang saya dapat disini, meskipun sudah cukup banyak hal menyenangkan yang saya alami, tetap saja saya belum menemukan sesuatu yang betul-betul bisa saya sebut sebagai ‘kesenangan’. Benar kata Umar Kayam, orang kota akan selalu mendambakan suasana desa dan orang desa akan selalu iri dengan gemerlap kota. Dan ketika orang kota pergi ke desa, atau orang desa pergi ke kota, mereka akan sama-sama merindukan tempat asal mereka.

Gunung Dempo
Jembatan bambu

Sore hari
Cughup (air terjun) Tujuh Kenangan

Kotoran luwak yang baru dijemur
Gambar di nisan, diperkirakan dari zaman Majapahit
Rumah batu, dari zaman megalithikum
Arca "Manusia Dililit Ular", dari zaman megalithikum

Sunday, July 10, 2011

sekat di antara hujan

Like a flower waiting to bloom
Like a light bulb in a dark room
I’m just sitting here waiting for you
To come home and turn me on
Hujan sudah reda sejam yang lalu, tapi selimut dingin yang dibawanya masih terasa sampai sekarang. Hujan, seperti juga manusia, akan meninggalkan jejak di manapun mereka singgah. Jejak yang tidak selalu sama masa berlaku dan efeknya. Karena seperti manusia, hujan juga senantiasa dimaknai lain oleh setiap orang yang mereka singgahi. Begitu juga sore ini, meskipun sudah lewat sejam, aku masih merasakan hujan di kepalaku. Walaupun sudah lewat setahun, aku masih merasakan kehadirannya dalam hatiku. Dia yang selalu senang mengajakku berlari diantara riak, dia yang selalu senang menatapku dari balik rintik.

Ini adalah enam puluh menit yang panjang. Masih tergenang di kepalaku setiap tetes hujan yang menandai detik-detik kerinduan. Mata, hidung, telinga, pipi, kening, ujung pundak hingga telapak kaki telah bersepakat dengan otak untuk memunculkan kembali gambar tentang dia. Ya, kali ini hujan membawaku ke alam rindu. Rindu yang didekap sepi, bagai tungku tanpa api. Ini jauh lebih buruk dari demam di musim kemarau. Matahari yang membuka terang setelah hujan dan sisa dingin yang diberikan oleh hujan, mengetuk keinginan untuk membalik waktu. Bagaimana semua begitu indah kala itu. Hujan, lihat apa yang telah kau perbuat kepadaku.

Bau tanah kemudian mengantarku ke bulan-bulan lalu. Saat sinar matahari menemani hati kita yang marah. Menemani teriakan kekesalan dan semua resah. Apa kamu ingat, saat semua jemari mu memaki wajahku? Menakutkan. Jejakmu hilang hanya dengan sebuah gerak jemari. Aku berlalu, melihat langit dan matahari seolah enggan pergi agar hujan tidak mendinginkan tubuhku yang gemetar ketakutan. Baiklah, itu sudah berlalu. Seperti dingin selimut ini yang juga akan segera berakhir seiring matahari mulai memperlihatkan keperkasaannya. Bagaimana pun aku tidak akan pernah berhenti merindukanmu, kecuali saat Tuhan menghapus hujan dari agenda kerja-Nya.

***
Like the desert waiting for the rain
Like a school kid waiting for the spring
I’m just sitting here waiting for you
To come home and turn me on
Hujan lagi, dan kenangan itu lagi. Aku masih saja belum menemukan jalan pulang. Tidak, bukan ‘belum menemukan’ sebenarnya, tapi aku masih terlalu takut untuk meniti kembali jalan itu. Setahun adalah waktu yang relatif, terlalu singkat untuk sebuah pelarian, dan terlalu lama untuk sebuah penantian.

Entah apa kabarnya sekarang. Entah apa yang dia rasakan sekarang. Entah apakah dia masih marah padaku, merindukanku, atau justru telah sama sekali melupakanku. Dia yang rambutnya selalu berkilau ketika kuajak berlari diantara riak, dia yang matanya selalu berbinar ketika kupandang dari balik rintik. Aku juga tidak tahu apa kabarnya kota kecil itu. Kota yang kutinggalkan setahun yang lalu, sepaket dengan dirinya.

Masih ada dalam surat-suratnya yang lusuh termakan waktu dan udara. Segala hal yang ia sukai dan apa yang selalu ia kagumi. Tentang wangi hujan, wangi tanah, dan tanganku yang besar. Apakah sekarang dia masih suka menanti hujan? Apakah dia menanti kembalinya aku menggenggam jemarinya yang kecil? Ah sepertinya kehidupannya sudah jauh lebih baik sekarang. Dia sekarang bisa menikmati hidupnya tanpa adanya emosi liar di siang hari. Membaca semua surat tanpa perlu khawatir ada yang ingin tahu. Dia sungguh bisa menikmati kopi paginya mulai saat ini, tanpa perlu peduli dengan siapa yang terlambat bangun hari itu.

Seperti biasa. Langit selalu menjadi lebih cerah setelah hujan. Angin selalu menjadi lebih sejuk. Dan dia selalu merasa lebih nyaman, setidaknya aku bisa memastikan itu.

Dan lihatlah aku sekarang, duduk menantang langit dengan tumpukan buku dan secangkir kopi yang beranjak dingin. Menghitung waktu dan membayangkan apa yang akan terjadi besok sudah bukan menjadi hal yang menyenangkan. Mimpi dan harapan yang termakan usia berubah usang dan terlupakan. Batu pun akan terkikis dalam penantian. Aku kembali menerawang sisa hujan, di  balkon, di atas lampu-lampu kota yang mencoba menenangkan manusia dalam balutan lelah, di atas atap-atap rumah yang melindungi para penghuninya dari ketakutan hari esok. Kemudian menghembuskan nafas panjang dan sedikit menitipkan rindu pada bulan yang mulai keluar dari perangainya. Untuk dia, paragraf yang pernah usai.

***
My Poor heart
It’s been so dark since you’ve  been gone
After all, you’re the one who turns me off
You’re the only one who can turn me back on
Sudah sejam hujan berlalu. Sudah setahun sebuah kisah terpaksa diakhiri. Sejam, setahun, sebuah relativitas absolut. Namun bagi dua orang ini, yang sama-sama menunggu dan sama-sama melarikan diri, yang terpisah ribuan kilometer, setiap detik terasa begitu menyayat, begitu lama, begitu mahir membuat hati meradang. Ah, andai mereka berdua sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama masih menginginkan. Andai..
* lirik: Norah Jones-Turn Me On
** ditulis secara maraton bersama Dito dan Justin di tengah rutinitas KKN di Pagar Alam, Sumatera Selatan.

Wednesday, June 29, 2011

never give up!

Dua puluh delapan Juni, tiga puluh enam tahun yang lalu, di bukit Turgo, sekelompok mahasiswa Psikologi UGM yang hobi jalan-jalan, camping, dan bernyanyi di samping api unggun, memutuskan untuk memberi nama pada semangat yang menyatukan mereka untuk terus bermain dan belajar di alam. Mereka menamakan semangat itu Palapsi, Pecinta Alam Psikologi.

Hari ini, tiga puluh enam tahun kemudian, Palapsi berkembang menjadi sesuatu yang jauh dari yang pernah mereka bayangkan. Kelompok kecil remaja awalnya diniatkan untuk sekedar melepas penat di alam, kini berubah menjadi sebuah organisasi besar yang pernah menorehkan prestasi disana-sini. Kelompok yang kegiatannya adalah camping di Turgo dan Tawangmangu, berubah menjadi komunitas semi-profesional yang pernah melakukan ekspedisi ke luar negeri. Sebuah bara semangat kecil berubah menjadi laksana api unggun, terus membakar dan terus membesar.

***

Bulan-bulan pertama kuliah di UGM, saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang sama sekali tidak menarik, monoton: kampus-rental PS-rental film-warnet-kost, dan hampir selalu seperti itu. Barulah ketika pertengahan semester dua, saya diajak untuk melakukan kegiatan bersama Palapsi oleh seorang teman. Latihan orientasi medan bersama tim gunung di Turgo. Operasional pertama saya di Palapsi! Bukit Turgo, tempat dimana Palapsi memulai semuanya, begitu pula saya. Maka seperti orang yang baru pertama kali berkegiatan di alam lainnya, waktu itu juga saya mengalami euforia, minta difoto dengan background Merapi yang kebetulan sedang cerah. Gunung sakral yang beberapa bulan kemudian saya benar-benar ada di puncaknya, tentu saja bersama Palapsi.

Dari situ saya diajak mencoba caving. Pengalaman caving pertama saya seharusnya bisa membuat orang dengan fobia ketinggian seperti saya kapok untuk melakukannya lagi: tergantung pada tali kernmantel karena salah satu alat SRT saya tidak mengalami malfungsi selama sekitar setengah jam diatas ketinggian 20 meter (dulu saya menganggapnya itu sekitar 40 atau 50 meter saking takutnya). Tapi yang terjadi justru saya malah masuk semakin ke dalam, ke dalam goa, dan juga ke dalam Palapsi.

Selama hampir tiga tahun saya aktif sebagai anggota tim caving Palapsi, saya telah mengalami berbagai pengalaman yang ratusan kali lebih berharga untuk dikenang ketimbang main PS ataupun menonton film di kost. Dari mulai mendengar suara gamelan di dalam goa bekas pembantaian PKI di tengah malam, menyusuri goa-goa di hutan Nusakambangan selama lima hari, menemukan bangkai kambing yang terperosok dan sempat membuat heboh warga sekampung karena kami menyangka itu adalah mayat bayi, berada di dalam goa terpanjang se-Asia Tenggara selama dua hari tiga malam, sampai perasaan mencekam karena melihat tali kami hampir putus tergerus banjir dari luar. Semua itu sungguh tidak bisa digambarkan dengan sempurna, bahkan dengan foto terindah sekalipun.

Dan bukan hanya dalam caving, di dalam Palapsi sendiri saya telah mendapat amat banyak pengetahuan yang tak akan pernah saya dapat di bangku kuliah. Ilmu dari mulai manajemen organisasi sampai skoring psikotest, dari mulai mengemukakan pendapat secara asertif sampai membuat permainan outbound, dari mulai membuat api dari kayu yang basah sampai bermain truff, dari mulai memasak sampai menulis. Semuanya itu adalah mata kuliah paling menyenangkan yang pernah saya jalani.

Entahlah, saya kadang berpikir kenapa saya bisa betah berada di sebuah organisasi. Selama di Bandung, dari SD sampai SMA, saya selalu menjauhi hal-hal semacam ini. Organisasi, geng, perkumpulan, komunitas, apalah itu. Saya selalu merasa tidak nyaman jika berada di tengah orang banyak. Tapi semenjak kenal Palapsi, saya justru merasa tidak nyaman jika sehari saja tidak datang ke sekretariat. Lalu saya sadari jika ini bukan sekedar organisasi, Palapsi adalah keluarga saya, tempat dimana saya bisa melepas topeng dan benar-benar menjadi diri saya sendiri, tempat dimana saya bisa belajar apa saja dari siapa saja setiap harinya. Jika dulu saya sempat ragu untuk meninggalkan Bandung karena dia adalah zona nyaman saya, maka Palapsi telah membuat Jogja menjadi zona super nyaman saya.

Sudah lebih dari dua tahun saya menjadi pengurus di Palapsi, sudah banyak sekali peran yang saya lakukan disana. Dua hari lagi kepengurusan baru dilantik, dan saya otomatis tidak lagi menjadi pengurus. Saya akan menjadi senior yang hanya bisa menikmati Palapsi secara terbatas. Saya tidak akan lagi mengalami rapat-rapat yang panjang, evaluasi yang penuh dengan ketegangan, ataupun semangat menggebu khas anak muda untuk melakukan berbagai kegiatan, entah sebagai pemuas hasrat untuk berprestasi ataupun untuk pembuktian, pembuktian pada siapa pun bahwa Palapsi masih, dan akan tetap ada. Yah saya akan merindukan itu semua.

Selamat ulang tahun untuk Palapsi, selamat bermain dan belajar untuk teman-teman baru, avignam jagad samagram, semoga selamat alam semesta beserta isinya. Never give up!

Tuesday, June 7, 2011

death and all of his friends

Meskipun cerita-cerita fiksi yang saya tulis biasanya berbicara tentang tragedi dan kematian, dan meskipun nickname saya ada kata "mati"-nya, tapi sungguh saya sangat takut dengan kematian, saya takut mati. Entahlah, mungkin bukan matinya yang saya takutkan, tapi cara bagaimana saya akan mati yang selalu menghantui saya.

Kemarin saya menjenguk seorang teman yang habis melakukan operasi usus buntu di rumah sakit. Dia terbaring lemah di tempat tidur, tidak boleh bergerak terlalu banyak, selain karena itu akan memperlama penyembuhannya, juga karena tubuhnya terasa lemas sehingga untuk menggerak-gerakkan tangan saja sepertinya sulit sekali. Sebuah tabung berisi cairan yang selalu ada di rumah sakit tergantung di sampingnya dan terhubung ke tangannya melalui jarum infus. Dibawah tempat tidurnya tergantung sebuah tabung lain yang berisi urinenya yang terhubung dengan dirinya melalui selang kecil.

Terbaring di rumah sakit, opname, salah satu hal yang saya berharap tidak akan pernah saya alami. Saya seumur-umur belum pernah dirawat di rumah sakit, dan tidak akan pernah mau. Saya takut jarum suntik, dan membayangkannya menempel terus menerus di pergelangan tangan saya selalu membuat saya bergidik. Maka jika saya boleh memilih, saya tidak mau mati dalam keadaan terbaring begitu lama di rumah sakit dengan jarum-jarum yang menancap pada badan saya. Demi internet, membayangkannya saat ini sungguh membuat ngilu! Ouch! Berarti konsekuensinya adalah saya harus mulai menjalankan pola hidup sehat mulai sekarang. Dan berhubung belakangan ini dada saya sering terasa sakit dan panas, saya juga sepertinya harus segera berhenti merokok. Semoga tidak hanya berakhir sebagai wacana.

Sekali lagi, jika saya boleh memilih, saya akan memilih cara mati yang efisien dan efektif, mati yang begitu cepat sehingga saya tidak akan merasakan sakit. Seperti misalnya mati saat tidur, ketika bangun saya sudah berada di tempat lain (entahlah, akhirat mungkin, jika memang benar ada) misalnya, nah itu cukup menyenangkan untuk dibayangkan. Salah satu cara mati yang paling saya takutkan adalah mati tenggelam. Coba bayangkan kamu meronta-ronta dalam air karena tidak bisa bernafas, tapi kamu masih sadar dan menyadari kamu akan mati, dan waktu tiba-tiba menjadi sangat lambat. Kamu benar-benar merasakan penderitaan dengan segenap kesadaran ketika tubuhmu semakin lemah tanpa asupan oksigen, semakin lemah, semakin lemah, semakin sakit. Ah sial, mengerikan sekali!

Dan sebenarnya bukan hanya kematian saya sendiri yang sering menghantui saya, tapi juga kematian orang-orang sekitar saya. Menurut saya kehilangan karena kematian adalah kehilangan yang paling substansial, ketika orang terdekatmu pergi dalam arti sebenarnya, benar-benar pergi, bukan sekedar pergi untuk waktu yang lama tapi suatu hari pasti akan kembali. Belakangan ini saya sering bermimpi tentang kematian orang-orang sekitar saya, dan tentu saja itu semua berakhir sebagai mimpi buruk.

Ada satu hal menarik yang saya amati ketika ada orang yang mati. Ketika seseorang mati, segala perbuatan dan ucapannya beberapa waktu sebelum kematiaannya selalu disangkutkan dengan kematiaannya itu, orang-orang biasanya menyebutnya sebagai "pertanda". Dan jika saya dalam beberapa hari ke depan kebetulan mati, saya yakin tulisan ini akan disebut sebagai "pertanda", padahal saya sama sekali tidak memiliki firasat akan mati dekat-dekat ini. Ah biasalah, namanya juga manusia, selalu berusaha mencari makna, dan jika mereka tidak menemukannya, mereka akan membuatnya sendiri dan menyematkannya kepada segala hal yang mereka lihat.

Tuesday, May 31, 2011

the blues are still blue

"So, this is it?"
"Yea, this is it."
"It's a farewell?"
"Kind of."

Then i checked the calendar, and realized that life is surely just a comedy, a gigantic catastrophic black comedy.

Wednesday, May 25, 2011

love is a trap

Piring telah kosong, gelas hanya tinggal menyisakan air dari lelehan es batu yang tercampur dengan sedikit teh. Sudah hampir satu jam kami berada di sana, tapi belum tampak akan beranjak. Asbak yang tadinya saya niatkan hanya akan terjamah oleh satu-dua batang rokok setelah makan, kini telah terisi oleh tujuh puntung bekas, dan akan terus bertambah, karena pembicaraan ini mengalir semakin dalam.

Diawali dari kami yang berbagi kisah tentang masa-masa galau (sial! akhirnya saya harus menggunakan kata ini) yang kebetulan pernah sama-sama kami alami hampir dua tahun yang lalu. Masa-masa yang pernah membuat saya (dan mungkin juga dia) merasakan titik terendah dalam hidup. Titik di mana kehampaan tiba-tiba bernyawa, titik di mana kesendirian mendadak menjadi terasa pekat, titik di mana semua harapan dan kata-kata motivasi terdengar seperti omong kosong terhebat sepanjang masa. Sebuah titik yang sukses mengubah total konsepsi saya tentang hubungan romantis dan komitmen, membuat saya amat sinis akan hal-hal semacam itu bahkan sampai sekarang.

Setelah melewati fase itu, kami yang sebelumnya telah saling kenal tapi tak pernah 'kenal', menjadi semakin dekat sebagai teman baik. Dia adalah orang yang bisa saya ceritakan segala hal tentang diri saya tanpa saya harus repot memakai topeng, dan tidak banyak orang semacam itu dalam hidup saya. Dia adalah orang yang selalu mau mendengar segala isi kepala saya yang kadang saya sendiri tidak mengerti apa yang saya bicarakan, dan entah apakah dia mengerti atau tidak.
"Aku bayangin, suatu hari ketika kita udah sama-sama tua, pikiran kita tentang pernikahan udah sama-sama melunak, dan masing-masing dari kita ngerasa harus nikah, cerita kita bakal mirip sama My Best Friend's Wedding," kata saya sambil memainkan rokok.
"Maksudnya?"
"Misalnya nanti kamu bakal nikah sama seseorang yang baru kamu kenal, terus aku bakal mikir 'anjis, itu orang baru dateng ke kehidupanmu, tahu apa sih dia tentang kamu sampe kamu harus nikah sama dia?' sementara aku hanya temen kamu dan ga bisa ngapa-ngapain. Atau coba bayangin sebaliknya, bayangin kamu yang ngerasain kayak gitu. Sucks banget kan..."
"Hehe, iya ya..."
Saya kembali menyalakan rokok. Bungkusnya sekarang tinggal berisi satu batang.
"Aku selalu takut suka sama temen deketku, makanya aku pernah sengaja ngejauh dari kamu, berusaha nge-repress perasaan yang kemungkinan muncul."
"Terus hasilnya?" tanya saya.
"Malah ngerasa goblok, ngapain juga harus kayak gitu."
"Iya, emang goblok."
"Haha."
Diam agak lama, sebelum saya menyalakan rokok terakhir.
"Kamu tahu cinta platonik?" tanya saya.
"Apa itu?"
"Sebuah perasaan yang tulus, di mana ketertarikan bukan didasari oleh hasrat seksual atau hal-hal semacamnya. Seperti perasaan orangtua ke anaknya, adik ke kakaknya, dan lain-lain. Dan itu yang selama ini aku rasain ke kamu."
"Ha?"
"Atau kalau kata 'cinta' tu terlalu menjijikkan diganti aja deh sama apa gitu, pokoknya intinya gitu."
Sekarang rokok saya sudah habis, tempat makan ini akan segera tutup, dan itu berarti kami harus segera pulang.

the spinning top made a sound like a train across the valley,
fading, oh so quiet but constant 'til it passed,
over the ridge into the distances,
written on your ticket to remind you where to stop,
and when to get off

-The Bulid Up, Kings of Convenience

Thursday, May 19, 2011

balada teknologi

"The real problem is not whether machines think but whether men do."
-B.F. Skinner 
Dibalik setiap ketidaksukaan saya terhadap peradaban manusia yang menempatkan dirinya di puncak hirarki makhluk hidup secara absolut, sebenarnya saya bersyukur dilahirkan sebagai manusia. Manusia adalah entitas yang luar biasa, mereka mampu melepaskan diri dari beberapa hukum alam dan tidak pernah berhenti berkreasi.

Teknologi, adalah satu hal yang akan menjadi ciri khas planet Bumi ketika kelak terjadi sesuatu yang membuat seluruh penghuni planet ini musnah. Dan meskipun teknologi dirancang diatas ego manusia yang super besar dan membuat planet ini tergerus setiap harinya, toh saya tetap bangga bahwa yang merancang dan membuat itu semua adalah makhluk yang sama dengan saya, manusia.

Ketika berbicara tentang teknologi, mau tidak mau potongan-potongan film The Matrix berkelebat dalam kepala saya. Bukan, bukan bagian dimana datang seorang manusia terpilih untuk menyelamatkan dunia, karena kisah semacam bisa ditemukan dimanapun. Tapi bagian dimana teknologi semakin lama semakin kuat dan pintar untuk bisa mengambil alih kekuasaan dari manusia. Konsep itu sangat mengerikan, karena saya rasa itu sama sekali tidak mustahil untuk terjadi.

Teknologi telah membuat manusia ikut terinovasi bersamanya. Ketika teknologi berubah, manusia juga ikut berubah. Betapa manusia hari ini telah begitu menggantungkan hidupnya pada teknologi adalah kenyataan yang tak terbantahkan.

Satu contoh, telepon seluler. Saya sungguh tidak habis pikir bagaimana orang-orang bisa menjalani hidup mereka dengan lancar sebelum ada ponsel. Maksud saya, hari ini ketika setiap orang sudah memiliki ponsel saja kadang masih ada miskomunikasi yang terjadi. Misalnya ketika membuat janji untuk bertemu dengan seseorang, dengan adanya ponsel saja hal-hal semacam tidak menemukan orang yang dicari masih bisa terjadi, apalagi dengan tidak adanya ponsel. Lalu saya teringat dengan kata-kata seorang perempuan yang saya temui di kereta suatu hari:
"Nyadar gak kalo HP tu bikin rasa percaya kita sama orang lain jadi semakin rendah? Dulu aku inget, ketika janjian sama orang di tempat A jam segini, ya harus tepat jam segini atau bahkan sebelumnya harus udah ada disana. Tapi semenjak ada HP, orang jadi ngegampangin, jadi mikir ah ad HP ini, kalo telat tinggal SMS. Jadi dulu tu alat komunikasi kita adalah rasa percaya."
Nah itulah apa yang saya maksud dengan berubah.

Kemudian ada internet. Dia adalah pembaharu yang sukses mengubah pola hidup manusia, terutama kehidupan sosial. Situs jejaring sosial telah berhasil memindahkan aksi, reaksi, dan interaksi ke dalam layar datar. Pernah saya bertanya kepada seorang teman "Eh kira-kira dulu sebelum ada internet, gimana cara orang berkatarsis ya?", "Hmm kirim salam lewat radio mungkin." jawabnya. Sebuah pertanyaan yang hanya bisa keluar dari produk generasi yang telah begitu dimanjakan oleh teknologi.

Apa lagi ya? Oh iya, televisi! Televisi, saya sungguh tidak mengerti mengapa benda persegi itu bisa begitu diidolakan oleh masyarakat secara masif. Semenjak yang saya tahu isinya cuma sinetron, infotainment, dan reality show yang tidak real. Reality show yang tidak real, kenapa juga harus menambahkan konflik dan sebagainya ke dalam sebuah tayangan yang seharusnya menjadi cerminan kehidupan nyata itu? Apakah kehidupan nyata begitu tidak menarik sehingga harus dipoles sedemikian rupa agar menarik untuk ditonton? Entahlah, yang jelas saya mengamini pendapat seorang teman, bahwa tidak pernah ada yang nyata di televisi.

Jika pulang ke Bandung, saya juga sering dibuat bingung jika keponakan-keponakan saya yang masih kecil itu fasih menirukan gaya bicara Sule ataupun karakter dalam sitkom Suami-Suami Takut Istri. Sesuatu yang aneh karena baik Sule maupun siapa pun itu dalam Suami-Suami Takut Istri bukanlah contoh yang baik untuk ditiru oleh anak kecil, dan sialnya para orang tua merekalah yang telah begitu bijaksana mengajak mereka menyaksikan acara-acara tersebut.

Jika kelak saya punya anak (sesuatu yang hanya ada dalam mimpi terliar saya), saya akan membanjiri pikirannya dengan buku-buku alih-alih dengan televisi. Dan kalaupun terpaksa menonton televisi, saya hanya akan memperbolehkannya menonton South Park, tontonan yang setidaknya saya juga bisa bersama menikmatinya.

Sunday, May 15, 2011

get lost: Solo!

Kesal karena tidak jadi pulang ke Bandung gara-gara kehabisan tiket, saya mengajak teman saya si Coco pergi ke suatu tempat yang agak jauh.
"Ke Solo yo, Co!"
"Tapi aku buta Solo e.."
"Sama aku juga, get lost wae!"
"Yo wes ayo."
Akhirnya berbekal pengetahuan yang sama sekali minim tentang kota itu, kami naik Pramex jam setengah 11 setelah lari-lari hampir ketinggalan.

Turun di Stasiun Balapan, barulah sadar tidak tahu mau kemana. Kami bertanya ke ibu-ibu warung dekat stasiun kemana arah ke Ngarsopuro (satu-satunya nama tempat yang diingat Coco), "Oh jalan aja terus ke selatan, dekat kok.."

Harusnya saya waspada pada definisi jauh-dekat orang Jawa, karena pengalaman caving di Gunung Kidul menunjukkan bahwa goa yang "hanya terletak di belakang rumah" menurut penduduk setempat berarti jalan kaki hampir satu jam. Dan ternyata di Solo "dekat" juga tidak dekat. Karena lapar, kami menghampiri sebuah warung soto.

Dari mas-mas pelanggan soto, akhirnya kami mendapat petunjuk untuk menuju museum Radya Pustaka. Di perjalanan saya melihat bahwa Solo itu peduli dengan para pengendara sepeda karena mencantumkan gambarnya di lampu lalu-litas. Apa di Jogja juga ada ya? Entah, saya tidak tahu, atau mungkin karena saya tidak pernah berjalan kaki di Jogja sehingga tidak pernah memperhatikan.

Kami naik jembatan penyeberangan (sesuatu yang belum pernah saya lakukan di Jogja).

Sampai di museum, kami melihat benda-benda keren seperti ini,

atau ini,

 dan ini.

Setelah itu kami minum es cincau yang enak dan murah di depan museum.

Yang saya tahu dari teman saya, pasar klithikan Solo itu oke dan barangnya bagus-bagus, maka kami memutuskan kesana walaupun harus tampak seperti turis karena naik becak dan membayar 20 ribu (sungguh ini sangat terpaksa karena jika harus berjalan katanya sangat jauh dan tidak ada lagi kendaraan umum yang menuju kesana.)

Dengan segala ekspektasi berlebih, kami dibuat sangat kecewa karena pasar klithikan Solo yang bernama Pasar Silir ternyata sangat sucks! Pertama, karena di sekitar sampah banyak sekali kambing yang berkeliaran memakan sampah. (oke ini memang sebuah alasan yang naif untuk membenci sebuah pasar, tapi alasan kedua mungkin akan terasa lebih logis)

Kedua, karena di pasar ini isinya hanya onderdil motor, onderdil mobil, barang elektronik, dan onderdil lagi, dan barang elektronik lagi, dan onderdil lagi, dan barang elektronik lagi, begitu seterusnya. Barang-barang yang dijual disini adalah barang-barang berguna dan penting. Jauh berbeda dengan pasar klithikan Jogja yang isinya adalah barang-barang tidak berguna dan tidak penting, tapi justru itulah yang membuat pasar klithikan Jogja terasa lebih menyenangkan. 

Disini kami hanya menemukan satu kios yang menjual barang-barang semacam ini, sesuatu yang bertebaran dimana-mana di pasar klithikan Jogja.

Karena kecewa, akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja. Kami berjalan kaki lagi menuju pertigaan dan menunggu angkot disitu.

Kami duduk lama di pertigaan sebelum akhirnya sadar ternyata angkot kami tidak lewat situ, dan (lagi-lagi) jalan kaki menuju perempatan dan (thanks God!) dapat angkot.

Akhirnya kami sampai di Stasiun Balapan lagi, menunggu Pramex berikutnya yang masih satu setengah jam lagi dengan membaca novel, tidur, dan menonton sebuah orkes musik yang apik dari para pegawai KA.

Sekitar jam tujuh lebih kami sampai di Jogja, misi get lost yang sukses, dan bikin capek!

ps: mungkin disini terasa sangat singkat, tapi perjalanan aslinya terjadi dalam sekitar enam jam, dan dua pertiga durasinya kami isi dengan berjalan kaki.